Catatan Perjalanan Ke Tepi Danau Toba
” Kita ke Balige, naik mobil, pakai jalan darat,” kata Rizki, salah seorang staf Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memberitahu, begitu saya dan beberapa wartawan tiba di Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara.
Hari itu, kami memang hendak ke Balige, memenuhi undangan Wakil Ketua MPR, Oesman Sapta yang hendak berkunjung ke daerah yang ada di tepi Danau Toba tersebut. Sebelum ke Balige, kami menghadiri acara Oesman di Lapangan Banteng, di tengah Kota Medan.
Sekitar pukul 16.00 lewat, atau menjelang pukul 17.00, menggunakan mobil, kami pun langsung meluncur ke Balige. Sore itu, suasana kota Medan ramai. Riski sendiri sedari awal mengatakan, bahwa perjalanan ke Balige diperkirakan memakan waktu sekitar 5 jam-an.
Tapi Bang Muklis Situmorang, supir yang membawa mobil, mengatakan sebaliknya. ” Ah kata siapa 5 jam. Lebih abang-abang, mungkin 8 jam-an,” katanya.
Langsung saja informasi dari Bang Muklis membuat kami sedikit ‘down’. Semua membayangkan betapa melelahkannya menempuh perjalanan sampai 8 jam-an. ” Waduh, sampai ke Balige dini hari dong,” Carlos, seorang wartawan berkomentar.
“Begitulah,” kata Bang Muklis.
Mobil yang kami tumpangi meluncur lewat jalan Sisingamangaraja ke arah Lubuk Pakam. Karena ini baru pertama kali pergi ke Danau Toba, saya coba mencatat penunjuk arah. Di pinggir jalan, terlihat sebuah plang penunjuk jalan. Terbaca tulisan penunjuk jalan arah Sei Rampah dan Tebing Tinggi.
“Lewat jalan mana bang ke Balige?”tiba-tiba Angga, wartawan Republik bertanya ditujukan pada Bang Muklis yang menyetir mobil.
“Kita sedang melewati jalan lintas Tanjung Morawa,” jawab Bang Muklis.
Sore itu, Jalan Tanjung Morawa yang kami lewati sudah sesak dengan truk-truk besar. Menurut Bang Muklis, ini memang jalur bagi truk-truk pengangkut barang. Terlihat di pinggir jalan, kendaraan khas Medan, betor atau becak motor. Betor itu banyak terparkir di tepi-tepi jalan. Namun ada juga yang, berseliweran di tengah jalan bawa penumpang, meski tak sebanyak di tengah Kota Medan.
Di kiri kanan jalan juga mulai nampak bangunan pabrik-pabrik. Ya, Tanjung Morawa memang dikenal sebagai daerah industri di Sumatera Utara. Jalanan pun agak lebar, tak sesempit seperti di kota Medan. Jalan terbagi dalam dua jalur.
Sekitar pukul 17.00, kami masih di sekitar Tanjung morawa. Makin sore, truk-truk makin mendominasi ruas jalan. Pukul 17.11, mobil kami baru masuk ke daerah Lubuk Pakam, Mulai terlihat pesawahan, di selingi rumah-rumah warga.
Kami juga melewati alun-alun Kota Lubuk Pakam yang tampak rindang, penuh jejeran pohon yang tumbuh rimbun. Laju mobil tak bisa cepat, karena banyaknya truk-truk yang memadati jalan. Saya pun mulai diserang ngantuk. Yang lain juga beberapa sudah tertidur. Bunyi dengkur mulai terdengar.
Meski ngantuk, tapi mata tak bisa terpejam. Daripada bengong saya pun kembali coba mencatat apa yang bisa dilihat sepanjang perjalanan. Memasuki Jalan Medan-Pematangsiantar KM 28,5, kami terjebak kemacetan yang mengular panjang. Bang Muklis, akhirnya banting setir. Mobil putar balik, lalu belok kiri ke jalan alternatif arah Dolok Masihul. Dolok Masihul sendiri adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.
” Kalau sudah macet begitu panjang itu. Bisa berkilometer,” kata Bang Muklis saat Rizki menanyakan kenapa putar balik.
Tapi baru saja mobil memasuki jalan ke arah Dolok Masihul, kami kembali terhadang macet. Ternyata ada kecelakaan. Untungnya setelah itu, mobil bisa segera melaju lancar.
” Kalan ke Dolok Masihul agak jauh. Tapi tak macet. Cuma agak rawan saja, banyak begal,” kata Bang Muklis.
Mendengar itu, terang saja saya agak takut. Dada langsung berdegup. Kekhawatiran akan adanya begal tiba-tiba menyelinap. Namun melihat Bang Muklis yang tenang saja, saya pun ikut tenang. Dalam hati saya berdoa, semoga selamat saja. Jalanan alternatif ke arah Dolok Masihul, tak selebar jalan yang menghubungkan Medan-Pematangsiantar. Ruas jalan agak sempit. Itu pun hanya satu jalur. Jadi, mesti hat-hati dalam menyalip. Tapi untungnya tak terlalu banyak truk-truk besar yang hilir mudik.
Hari makin sore, ketika kami melewati markas Kodim Deli Serdang. Setelah itu kami mulai disuguhi pemandangan berupa kebun-kebun sawit dengan pohon yang masih kecil-kecil. Saya tengok jam tangan. Ternyata sudah pukul 17.50. Saat itu, kami sudah tiba daerah Galang Kota. Kiri kanan jalan tampak berderet pertokoan. Nampak ramai.
Kami sempat singgah sebentar di sebuah pom bensin, untuk buang air. Setelah itu kembali melanjutkan perjalanan. Pukul 17.30, masih di daerah Galang. Pemandangan kebun sawit kembali menyergap mata, diselingi pemukiman warga. Masih di daerah Galang, kami mulai melewati hutan kecil. Sepertinya hutan karet.
” Ini yang rawan suka ada begal,” tiba-tiba Bang Muklis terdengar bersuara.
Saya coba melihat dari jendela mobil. Kawasan hutan karet memang sepi. Nyaris tak ada geliat kehidupan. Saya bayangkan, pasti jika malam daerah ini menyeramkan. Tak ada lampu penerangan di sisi-sisi jalan. Kiri dan kanan jalan hanya hutan karet.
Sekitar pukul 18.03, kami akhirnya sampai di daerah Dolok Masihul. Tanpa diminta Bang Muklis kemudian bercerita. Katanya, Dolok Masihul itu artinya gunung yang dirindukan. Ketika tiba di sana, jalanan mulai lengang. Saya tengok handphone, sinyal timbul tenggelam. Ah, sepertinya jaringan Axis yang saya pakai kurang kuat.
” Kalau ke Balige ada mobil?” Angga kembali terdengar bertanya.
Bung Muklis menjawab, ada beberapa angkutan umum seperti bis dan mobil elf yang melayani rute Medan-Balige. Ongkosnya kira-kira 90 ribuan.
Hari makin remang, meski tak terlalu gelap. Kali ini, jalanan tak lagi lempang datar. Sesekali ditemui jalan yang meliuk dan menikung. Pemandangan agak membosankan memang. Kiri dan kanan jalan, jika tak kebun kebun sawit, pemukiman warga yang tampak terlihat. Sambil menyetir, Bang Muklis kembali bercerita. Katanya, di sini, jika nabrak anjing dendanya mahal. Apalagi jika yang ditabrak adalah anjing hitam. Dendanya lebih mahal lagi. Darah anjing hitam dipercaya bisa menangkal roh jahat.
” Kalau anjing atau anjing hitam yang terbrak, warga walau pun bukan pemilik anjing, pasti akan mengejarnya. Minta denda,” ujar Bang Muklis.
Selain banyak bercerita, sepanjang perjalanan Bang Muklis tak henti memutar lagu Batak. Meski tak mengerti liriknya, tapi lumayan enak didengar. Lumayan jadi hiburan sepanjang perjalanan. Pukul 18.39, kami sudah masuk daerah Tebing Tinggi.
Mobil pun belok kiri, lalu keluar dari jalur alternatif, dan masuk jalur utama, jalur lintas Barat. Jalur ini yang seharusnya kami lewati, kalau tadi tak terhadang macet di Tanjung Morawa. Ruas jalan tak lagi sesempit jalur alternatif. Mobil pun bisa melaju dengan kencang.
Petang sudah lewat. Remang malam mulai dijelang. Pukul 19.00, kami mampir sebentar untuk mengisi perut di rumah makan Bayu Lagoon. Setelah itu kembali melanjutkan perjalanan. Suasana sekitar sudah gelap. Tapi untungnya, arus kendaraan tak lagi padat. Namun yang bikin ngeri adalah minimnya lampu penerang jalan. Jadi kendaraan dari arah berlawanan hanya bisa dikenali dari sorot lampunya.
Mengenai lampu dan listrik, Bang Muklis punya cerita. Katanya di Sumut, sering sekali mati lampu. Listrik biasa mati tiap hari. Bahkan kadang hanya nyala enam jam. Bergiliran pula.
” Ya, misalnya di daerah Medan Utara, enam jam mati. Di medan Selatan, enam jam berikutnya,” katanya.
Pemandangan kebun sawit kembali terpampang. Kendaraan yang lalu lalang kian jarang. Menyetir pun harus hati-hati. Mata supir harus awas. Apalagi sesakali ada truk kontainer yang berjalan pelan. Bila tak awas dan tidak jaga jarak, bisa-bisa mobil nubruk pantat truk.
Setelah itu, baru pemandangan lain terlihat, jejeran warung-warung yang penuh dengan truk-truk terparkir. ” Ini daerah apa bang?” saya bertanya pada Bang Muklis.
” Ini kampung Naga Kesiangan,” jawab Bang Muklis.
Nama kampung yang aneh, kata saya lagi. Bang Muklis pun kemudian menjelaskan, kenapa kampung tersebut disebut kampung naga kesiangan. Katanya, di depan itu adalah daerah Siantar. Di sana banyak orang Batak bermarga Sinaga. “Ya para Sinaga itu yang sering mampir ke warung-warung itu, sering sampai kesiangan saking asyiknya ha.ha.ha,” ujar Bang Muklis.
Warung-warung sepanjang pinggir jalan memang seperti warung remang-remang. Warung dihias dengan lampu hias yang sinarnya kelap-kelip. Beberapa warung, pintunya dibiarkan saja terbuka. Sekelebat dari jendela mobil saya menangkap pemandangan di dalam warung. Mirip seperi kafe dangdut. Ada lampu bulat seperti lampu disko. Di depan-depan warung terlihat para perempuan yang erdandan menor. Bercelana pendek. Mereka duduk-duduk sambil merokok menunggu tamu singgah.
Pukul 20.15, kami akhirnya sampai di daerah Simalungun. Bang Muklis mengatakan sehabis Simalungun, baru setelah itu Pematangsiantar. Katanya, perjalanan masih jauh.
” Setelah Pematangsiantar, baru Tobasa, nah setelah itu, baru kita tiba di Balige,” katanya.
Saya sempat tertidur sebentar. Pukul 21.41, saya kembali terbangun. Saya tengok jendela mobil, suasana gelap sekali. Saya lihat ke depan, hanya sorot lampu mobil yang jadi penerang. Jalanan terasa mulai menurun. Dalam gelap malam, samar-samar saya lihat pemandangan yang menakjubkan. Danau Toba sudah terlihat.
” Nah, abang-abang lihat itu jejeran lampu yang memanjang, itu Pulau Samosir,” tiba-tiba Bang Muklis berkata memecah kehingan.
Saya tengok arah yang ditunjukan Bang Muklis. Benar saja, terlihat deretan kerlip lampu-lampu yang memanjang di kejauhan. Jalanan mulai berbelit. Meliuk-liuk, penuh dengan belokan dan tikungan tajam. Tampak pula beberapa rumah makan yang masih buka dipinggir danau. Beberapa mobil tampak terparkir. Rumah makan hanya bangunan terbuka dengan View langsung menghadap ke tepi Danau Toba. Sampai kemudian mata menangkap pemandangan menakjubkan. Kerlip lampu yang menggunung, dan memanjang memenuhi sebuah bukit. Permukaan danau tampak hitam. Kerlip lampu memantul dari permukan danau.
“Itu Parapat,” kata Bang Muklis.
Pukul 22.00, kami akhirnya tiba di Kota Parapat. Di sebuah pom bensin, kami kembali berhenti, karena ada yang hendak buang air kecil. Saya ikut keluar. Begitu keluar dari mobil, hawa dingin langsung menyergap. Saya tengok sebuah plang. Ternyata kami sedang berada di Jalan Sisingamaraja Kota Parapat.
Hawa makin menusuk. Saya seperti sedang ada di Puncak Bogor saja. Saya tengok jam tangan, waktu sudah menunjukan pukul 22.06 Wib. Selesai istirahat sebentar, kami pun berangkat melanjutkan perjalanan. Seperti tadi, kami kembali dihadapkan pada suasana jalan yang gelap. Tapi kali ini, ada pemandangan yang menakjubkan. Lewat jendela mobil, saya menangkap wajah langit bertabur bintang-bintang. Sangat jelas. Sangat indah.
Pukul 23.32 Wib, akhirnya, kami sampai di Balige. Mobil pun masuk ke sebuah hotel kecil. Hotel Ompu Herti namanya. Di hotel itu kami akan menginap. Setelah dapat kunci, saya segera masuk kamar. Hawa makin dingin. Dari kejauhan, terdengar jelas musik dangdut. Sepertinya dekat hotel, ada kafe dangdut. Lelah, penat dan pegal. Setelah basuh muka dan cuci kaki, saya segera melempar tubuh ke atas pembaringan, menjemput mimpi.
Related Posts
Ucok Durian, Penyempurna Kunjungan ke Medan
Belum ke Medan, jika tak ke Ucok Durian ” Belum ke Medan, bila tak singgah ke Ucok Durian,” begitu kata kawan saya yang orang Medan.
Read moreGudeg Adem Ayem Solo, Lezat dan Menjadi Langganan Tetap Para Pejabat
Rumah Makan (RM) Adem Ayem Solo berhadapan langsung dengan rumah dinas walikota Surakarta atau Loji Gandrung. Tepatnya di Jl. Slamet Riyadi 342, Kelurahan Penumping, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta.
Read moreKendati Sudah Mereda, Tips Wisata Usai Pandemi Ini Tetap Perlu Kalian Terapkan
Meski sudah ada pelonggaran, ada beberapa tips wisata usai pandemi yang perlu menjadi perhatian. Kesehatan tetap merupakan urusan utama yang perlu mendapat kepedulian tinggi, termasuk faktor-faktor penting yang lain.
Read more