Showing Post From Berita
Soal Tahu, Kuningan Tak Kalah dengan Sumedang
Bicara soal tahu, yang langsung nyangkut di benak adalah tahu asal Sumedang. Ya, harus diakui, nama tahu Sumedang memang sudah sohor kemana-mana.
Read moreKenangan Perjalanan Mudik, Mendulang Uang dari Buang Hajat
Lebaran telah lewat. Jutaan pemudik pun telah kembali ke kota, setelah berlebaran di kampung halamannya masing-masing. Kota kembali ramai, setelah sepi sejenak ditinggal penghuninya bermudik ria.
Read moreMenengok Pos TNI Penjaga Perbatasan Indonesia-Malaysia
Markas utama pos TNI penjaga perbatasan di Kalimantan Utara Sekitar pukul tiga sore waktu setempat, Pak Ihim Surang, mantan camat Kayan Hulu, yang ikut menemani kami dalam kunjungan ke Desa Long Nawang, Kalimantan Utara, menawarkan pergi ke pos tentara yang menjaga perbatasan.
Read moreMenikmati Layanan Kelas Bisnis Batik Air
Menikmati layanan kelas bisnis Batik Air Nama maskapai Batik Air kini mulai terkenal. Maskapai ini, nginduk ke Lion Air Grup, perusahaan penerbangan komersil milik Rusdi Kirana.
Read moreAdisutjipto Airport, Bandara yang Jawa Banget
Setiap bepergian keluar kota, apalagi bila pakai pesawat terbang, hal yang selalu saya catat, selain layanan maskapai juga kondisi serta wajah bandara yang saya singgahi. Selalu ada yang menarik yang bisa saya catat. Terutama keunikan dari bandara tersebut. Sisi lain yang membuat bandara itu punya ciri khas.
Salah satu bandara yang menurut saya punya ciri khas adalah Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Bandara ini, ada di Sleman, salah satu kabupaten yang masuk wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mengutip keterangan di Wikipedia.org, Adisutjipto Airport dulunya bernama Pangkalan Udara Maguwo yang dibangun pada sejak tahun 1940. Dinamakan Maguwo, karena letaknya memang ada di Desa Maguwoharjo.
Masih menurut Wikipedia, pada tahun 1945 Pangkalan Udara Maguwo di ambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dan tetap difungsikan sebagai pangkalan udara. Di pangkalan ini, para kadet sekolah penerbangan berlatih terbang.
Nama Adisutjipto diambil dari nama pimpinan para kadet sekolah penerbang, yaitu Agustinus Adisutjipto. Adisutjipto sendiri gugur pada 29 Juli 1947, setelah pesawat Dakota VT-CLA yang dikemudikannya ditembak militer Belanda. Pada 17 Agustus 1952, pangkalan udara Maguwo resmi diubah namanya menjadi pangkalan udara Adisutjipto. Fungsinya masih tetap sebagai bandara militer.
Baru pada 1964, pangkalan Adisutjipto juga dipergunakan untuk penerbangan sipil, setelah keluarnya keputusan bersama antara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dengan Angkatan Udara Indonesia yang menyetujui pelabuhan udara AdiSutjipto menjadi pelabuhan udara Gabungan Sipil dan Militer.
Kemudian keluar PP Nomor 48 Tahun 1992. Dengan payung hukum PP tersebut, pada 1 April 1992, Bandar Udara Adisutjipto resmi masuk ke dalam pengelolaan Perum Angkasa Pura I.
Namun meski begitu, bandara ini juga masih tetap dipakai TNI-AU untuk melakukan latihan terbang bagi pesawat-pesawat tempurnya. Jadi jangan heran, bila bandara suka ditutup sementara. Itu tandanya, bandara sedang dipakai untuk latihan terbang pesawat TNI-AU.
Senin, 25 April 2016, saya berkesempatan pergi ke Yogyakarta. Saya ke sana untuk meliput kegiatan hari otonomi daerah yang dilangsungkan di Kabupaten Kulon Progo. Hari Selasa 26 April, saya kembali pulang ke Jakarta via Adisutjipto Airport. Saat turun dari mobil yang mengantar dari hotel tempat menginap selama di Yogya, saya tiba-tiba saja tertarik untuk memperhatikan sisi lain dari bandara tersebut.
Arsitektur bangunannya yang menurut saya menarik. Bangunan Bandara Adisutjipto bisa dikatakan sederhana saja. Terminal utama bandara hanya bangunan yang memanjang. Tidak bertingkat, cuma satu lantai. Jika dibandingkan dengan Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang atau Bandara Hasanuddin di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Adisutjipto jauh kalah megah. Perbandingannya mungkin seperti bumi dan langit.
Bahkan bangunan Bandara Adisutjipto terkesan tradisonal. Hanya satu lantai. Dan tidak begitu luas. Aroma Jawa begitu kental melekat dalam desain gedungnya. Tempat menurunkan penumpang misalnya, citra rasanya Jawa banget, dengan keberadaan pendopo yang menaunginya.
Tiang pendopo tempat menurunkan penumpang terbuat dari kayu. Diplitur warna coklat tua dengan ukiran khas Jawa. Pun bentuk atapnya, sangat Jawani. Langit-langitnya juga begitu, menampilkan aroma yang Jawa banget. Tampak tergantung lampu dengan model tradisional. Di sisi kiri kanan pendopo, ada patung besar dari batu. Begitu juga selasar yang ada di komplek bandara. Ruang tunggu keberangkatan penumpang juga tak begitu luas. Aroma Jawa sangat terasa.
Dengan bentuk arsitekturnya yang seperti itu, Adisutjipto Airport punya ciri khas tersendiri. Bandara ini sangat menggambarkan tempat dimana bandara itu berdiri. Yogyakarta, bumi Mataram. Dengan memperhatikan setiap lekuk bangunannya, kita merasakan ada semacam jejak masa lalu.
Jejak yang membuat bandara tersebut seakan punya cerita. Cerita tentang masa silam yang tetap tertaut hingga hari ini. Entah mengapa saya suka Bandara Adisutjipto. Bangunannya seakan punya wibawa. Punya semangat untuk tetap tegak, tak mengekor gaya bangunan era modern. Percaya diri dengan jatidirinya.
Karena itu Bandara Adisutjipto tak terlihat pongah. Suasananya justru terasa akrab dan hangat. Tidak asing dan terasa tak berjarak. Ketika saya tiba mendarat dari Jakarta, lalu keluar dari badan pesawat, bangunan terminal bandara seperti sahabat lama yang menyambut dengan hangat.
Tidak ada belalai Garbarata laiknya bandara-bandara besar. Dan bagi saya, itu yang membuat bandara Adisutjipto terasa bersahabat. Selalu saja, jika menginjakan kaki di bandara Adisutjipto, waktu terasa melambat. Tidak tergesa. Tapi berjalan alon.
Dua kali sebelumnya saya pernah pergi ke Yogyakarta. Dan kunjungan kali ini yang ketiga kalinya. Tidak ada yang berubah. Kehangatan dan keakraban terasa langsung menyergap, begitu kaki melangkah masuk ke terminal kedatangan penumpang. Saat pulang, ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang akrab dan tenang.
Begitu pesawat yang membawa saya terbang mengangkasa ke Jakarta, waktu kembali terasa berderap cepat. Apalagi saat pesawat sudah mendarat kembali di Bandara Soekarno-Hatta. Lalu memasuki ruang terminal bandara yang modern, rasa sumpek langsung mendera. Selamat datang kembali ke rutinitas yang hiruk pikuk.
Tapi bukan berarti Bandara Soekarno-Hatta tak punya daya tarik. Di terminal 2F, terutama di ruang tunggu keberangkatan penumpang, aroma Indonesia begitu terasa. Ruang tunggu di terminal 2F, sangat khas. Penuh ukiran. Bagi saya, ruang tunggu di terminal 2F, sangat Indonesia banget. Bandara lainnya yang punya ciri khas, adalah Bandara Ngurah Rai, Bali. Aroma pulau dewatanya begitu terasa dengan hadirnya ornamen-ornamen khas Pulau Dewata.
Saya kira, bandara-bandara di Indonesia harusnya punya ciri khas yang kuat. Ciri khas yang bisa menggambarkan daerah tempat bandara itu berdiri. Meski modern, harusnya nilai kultur, budaya dan tradisi tetap melekat. Tak lantas kemudian raib, demi sebuah kemegahan yang terasa asing. Karena pepatah mengatakan, di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Di mana bandara itu berdiri, di situ adat istiadat tetap dihormati.
Read more