Huangshan: Mendaki gunung dalam lukisan
Sayang kalau tidak dipamerkan dituliskan. Catatan perjalanan di China daratan, 26 Jan – 8 Feb 2010, bagian pertama.
Let the Orinoco flow
…
From the deep Sea of Clouds: to the Island of the Moon
…
Let me sail let me sail… (Enya – Orinoco Flow)
Kali ini rencananya tidak sendiri, tapi berlima. Hanya saja karena saya telat dalam perburuan tiket promo barengan jadinya memilih jadwal terbang lebih dahulu. Empat hari lebih awal dari teman seperjalanan membuat saya harus menentukan mau menghabiskan waktu dimana dulu. Dengan titik pertemuan di Hangzhou, maka yang dapat saya pikirkan adalah jalan ke Suzhou.
Sudah booking penginapan disana tiba-tiba saya berubah haluan ketika menyaksikan poto-poto pegunungan dengan puncak lancip berselimut awan, mirip ilustrasi cerita-cerita silat China yang pernah saya baca.
Huangshan atau Yellow Mountain namanya, sebuah titik di provinsi Anhui hanya berjarak beberapa senti saja dari Hangzhou di peta. Awalnya sih agak ragu karena China waktu itu lagi sangar-sangarnya musim dingin. Gunung di negara tropis pas musim kemarau saja masih membuat saya menggigil, apalagi gunung di negara bermusim dingin.
Tapi bayangan itu saya usir jauh-jauh setelah melihat poto-poto pemandangan disana, dengan pohon-pohon pinus berselimut putih salju, mirip setting di film Narnia. Akhirnya saya tetapkan hati mengubah itinerary, mendaki Huangshan seorang diri!
Penerbangan pagi Kuala Lumpur – Hangzhou berjalan lancar. Itulah kali pertama saya terbang dengan Air Asia X. Enam jam di udara ternyata lama, kalau pake bus itu waktu tempuh yang sama dengan Jakarta – Ciamis. Keluar dari Xiao Shan airport dengan menyibakkan tirai plastik tebel. Wuzzz… hawa dingin terasa menampar wajah saya.
Oooh… begini toh musim dingin, anginnya kering bikin sakit di rongga hidung dan dingin di daun telinga. Tak ada salju, hanya nuansa muram kelabu, pohon-pohon hanya tinggal dahan tak berdaun.
Sesuai info saya cari shuttle bus yang menuju pusat kota, tepatnya di Wu Lin Men. Dari sana saya akan menuju Hangzhou West Bus Station untuk mengejar bus AKAP ke Tunxi, kota kecil di kaki gunung Huangshan.
Menemukan bus yang menuju West Bus Station ini tidak mudah. Seorang bapak di bus shuttle bandara hanya memberi tahu saya nomor bus 102, tapi harus nunggu di halte mana dia tidak kasih tahu. Akhirnya dengan bahasa tarzan dan English seadanya saya tanya setiap orang yang lewat. Alhamdulillah ketemu.
Maklum pertama kali naik bus umum di China, saya agak gagap. Karena bus ini mirip dengan bus 46 yang biasa saya tumpangi di Jakarta, maka asumsinya adalah ada kenek yang nanti bakalan narikin ongkos didalam.
Begitu sampai di pintu bus, saya lihat penumpang lain memasukkan uang ke dalam sebuah kotak di samping pak supir dan mengambil secarik karcis kecil. Kelabakanlah saya nyari-nyari uang pecahan kecil, ongkosnya 3 Yuan kalau tidak salah.
Melihat orang asing kebingungan si sopir langsung mengibas-ngibaskan tangannya menyuruh saya langsung duduk saja di belakang. Jadi bus umum pertama di China gratis karena kebodohan saya. Di dalam bus sendiri saya tidak yakin hendak berhenti dimana. Nanya ke anak muda sebelah tidak mengerti omongan English saya.
Untunglah saya belajar sedikit Nihongo yang kanjinya diambil dari China. Saya tulis nishi (barat) “bus station” gede-gede di secarik kertas. Barulah orang itu ngeh, o_ooh ya ya, the last stop_ katanya. Lega.
Kota tua di kaki Gunung
Tiba di West Bus Station saya terkesima. Ini stasiun bus antarkota antarpropinsi paling keren yang pernah saya temui. Lebih mirip bandara kecil. Ada gate-gate khusus untuk bus tertentu, lengkap dengan panel LED berisi informasi dalam tulisan kanji.
Tujuan saya adalah Tunxi, atau lebih dikenal dengan Huangshan City. Dari Hanzhou bisa ditempuh dengan bus dalam waktu 3.5 jam.
Waktu itu sudah menjelang sore. Bus terakhir ke Tunxi kalau gak salah jam 18:00, saya mendapatkan tiket untuk bus jam 17:00. Ongkosnya 87 yuan.
Tunxi dipilih sebagai base untuk mendaki ke Huangshan keesokan paginya. Kota ini berjarak setengah jam perjalanan dengan bus dari Huangshan itu sendiri.
Saya menginap di daerah Old Street, Lao Jie. Area ini tidak boleh dimasuki kendaraan bermotor, hanya orang dan sepeda saja yang boleh melaluinya. Di malam dingin mencekam itu saya terpaksa jalan mencari penginapan.Huangshan Old Street Youth Hostel namanya. Seorang gadis penunggu penginapan menyambut dengan hangat (well, sebenarnya ada cowoknya juga, tapi kita abaikan saja dia).
Wajahnya imut dengan poni lurus menutupi alis. Ketika senyum matanya yang kecil hanya nampak seperti garis melengkung saja. Jaket tebal dan kupluk beruntai bola-bola di telinga dengan warna terang yang dikenakan menambah aura lucunya.
“Nihao” sapanya ceria…
Ah saya terpesona, ini baru welcome to China.
Saya pun check-in satu malam saja. Tidak lupa saya utarakan maksud hati untuk mendaki Huangshan keesokan hari. Gadis itu tersenyum penuh arti (halah), dia menyarankan agar saya belanja kebutuhan di gunung seperti makanan dan minuman di Lao Jie saja karena di puncak gunung harganya mengikuti ketinggian gunung tersebut. Dia menawarkan untuk mengantar ke minimarket terdekat kemudian berdo’a untuk saya semoga cuacanya bagus karena musim dingin cuaca tidak bisa diduga. Emhh..
Tidak banyak yang bisa dilihat di Tunxi ini, seperti kota kecil pada umumnya. Kota tuanya sudah didesain sedemikian rupa untuk menarik turis-turis berbelanja. Di pinggir jalan dipenuhi restoran dan penjaja cenderamata. Suasana kotanya sendiri cenderung sepi, saya suka. Jalan kaki, kalau tidak dingin sih rasanya nyaman sekali. Di gerbang Lao Jie terpampang patung sosok gigi biru Hai Bo, maskot World Expo 2010 Shanghai.
Yang agak ribet soal makanan, daerah pegunungan gini tentu tidak mudah mencari menu seafoood. Ada sih yang jual ikan tawar, pas disamperin harganya mahal, 40 CNY satu ikan kecil, udah gitu nasinya lagi kosong pula. Akhirnya saya makan chahan (nasi goreng) di kafe hostel dengan pesanan khusus tanpa bacon dan kawan-kawan.
Hostel yang saya tempati cukup nyaman, bentuknya bangunan tua. Di lantai atas ada kafe kecil menyatu dengan ruang baca dan ada meja bilyarnya. Di balkonnya bisa melihat-lihat ritme kehidupan di Lao Jie yang lambat sembari menyeruput teh atau kopi panas. Di seberang hostel ada restoran gede yang nampak selalu ramai. Saya gak berani masuk karena nampaknya mahal .
Malam pertama di musim dingin dibuat menggigil. Padahal waktu itu sudah pakai baju rangkap, jaket tebal tidak lupa bergelung sarung. Kemungkinan besar AC dimatikan fungsi heaternya oleh teman sekamar, orang Eropa, dia kegerahan. Sial.
Seribu anak tangga
Esok paginya dari hostel saya dijemput bus kecil yang akan mengantar sampai kaki Huangshan. Sebelumnya saya titipkan sebagian besar isi _backpak_ di hostel karena terlau berat kalau harus diajak mendaki. Isi bus ini semuanya orang lokal, ya paling tidak semua orang berwajah oriental.Bus ini ternyata hanya mengantar sampai ke sebuah stasiun bus lagi di kaki Huangshan yang dikelola pemerintah. Kabarnya hanya bus pemerintah saja yang boleh mengantarkan pendaki sampai ke titik pendakian. Ongkos bus pemerintah ini 13 yuan.
Ada beberapa titik awal pendakian di Huangshan, beberapa diantaranya dilengkapi dengan cable car yang akan mengantarkan sampai ke hampir puncak gunung. Waktu itu saya hanya go with the flocks, jadi ikut arus turis-turis lain. Peta jalur gunung berbahasa China yang dibawa sudah saya lipat baik-baik dari tadi, tidak dilihat lagi.
Ternyata titik awal pendakian saya adalah Yungu cable car. Ya udah, walaupun masih pagi saya ikut saja naik itu cable car, ongkosnya 85 Yuan, one way. Keputusan tepat karena ternyata walaupun sudah pakai cable car, sisa perjalanan yang harus ditempuh dengan jalan kaki sangatlah panjang dan melelahkan. Oh iya, masuk ke kawasan Huangshan juga tentu saja bayar, 150 yuan.
Huangshan sebagai gunung sebenarnya tidaklah sangar, lebih menjadi gunung tujuan turis daripada petualang. Semua jalan disana dibuat bertangga. Ada beberapa jalur dan beberapa puncak yang bisa dituju. Jalur tertentu bisa membuat ngeri karena jalannya dibuat melipir sekali punggung gunung. Jadi di sisi satunya dinding gunung batu, sisi lain jurang menganga.Mungkin karena dibuat bertangga itu malah terasa sekali capeknya di lutut. Dan jangan ditanya malasnya ketika setelah jalan agak mendatar tiba-tiba di hadapan ketemu tangga menanjak lagi. Perbekalan saya untuk mendaki hanya cokelat, biskuit dan beberapa botol air mineral.
Meskipun dingin, tetap saja bisa keringetan dan alhamdulillah nafsu minum saya tidak berkurang. Di pinggir jalan biasa ditemui kedai-kedai kecil. Selain jualan cenderamata, dijual juga macam-macam makanan rebus, telur, tahu dan jagung. Favorit saya jagung rebus, 5-8 yuan harganya, hangat digenggam dan lumayan menambah stok tenaga.
Huangshan itu memiliki banyak puncak-puncak kecil yang bisa dinikmati pemandangannya sepanjang jalan. Tidak heran kalau jalannya naik, turun, mendatar, naik lagi. Begitu terus sampai capek.
Spot-spot pemandangan itu biasanya mempunyai nama dalam bahasa China yang mana dalam terjemahan Englishnya mirip nama-nama tempat di cerita dongeng persilatan.
Yang patut diacungi jempol adalah pemeliharan kawasan wisata ini. Membangun jalan-jalan di gunung batu saja membuat saya menganga, apalagi kalau teringat istilah “made in china”. Pemerintah disini rupanya serius sekali menjadikan gunung untuk menarik wisatawan. Setiap titik bisa didapati tempat sampah, tidak lupa dengan petugas kebersihan berseragam. Polisi patroli pun ditempatkan di beberapa pos jaga. Kolam-kolam penampungan air sepanjang jalan, tidak lupa bangunan-bangunan toilet umum yang lumayan bersih terawat.
Di beberapa tempat di sekitar pepohonan malah bisa didapati hydrant untuk jaga-jaga bila ada kebakaran. Saya yang baru pertama kali datang dan sendirian saja merasa nyaman dan aman mendaki gunung ini.
Gembok Cinta
Sebenarnya saya malas cerita bagian ini, karena tidak relevan dan hanya membuat nelangsa saja. Konon katanya kebanyakan yang mendaki Huangshan adalah pasangan. Mereka meniti tangga sambil berpegangan tangan.Apa yang dilakukan di atas sana? Ya sama saja menonton lautan awan, sunrise atau sunset. Tapi ada lagi satu ritual yang hanya bisa dilakukan oleh pasangan. Mereka biasanya membawa sebuah gembok atau sepasang gembok yang saling dikaitkan. Diatasnya ada ukiran nama mereka berdua.
Gembok ini bisa gembok biasa, atau yang sengaja di jual berbentuk hati berwarna emas lambang keabadian. Ceritanya untuk mengunci hati mereka selama-lamanya, gembok itu dikaitkan di sembarang rantai pagar di tepi jurang Huangshan. Dikunci serapat-rapatnya, kemudian anak kuncinya mereka lemparkan ke jurang.
Di setiap jalan bisa dijumpai gembok-gembok cinta berjejer bertumpukan. Hampir setiap pagar yang ada rantai dan di sebelahnya jurang dalam, bisa dipastikan ada gerombolan gembok ini.Ritual romantis ini rupanya bukan hanya ada di Huangshan, banyak tempat-tempat lain di dunia yang menawarkan kegiatan serupa (Wikipedia: Love Padlocks).
Masih ada kesempatan…
Puncak gemilang cahaya
Saya sudah lupa hitungan tangga ke berapa akhirnya bisa mencapai puncak Guang Ming Ding, salah satu puncak yang paling terkenal di Huangshan. Disana ada sebuah hotel mewah dengan tarip bisa 4 juta rupiah semalam. Yang jelas saya tidak menginap di hotel itu.
Ke Huangshan memang tidak afdol kalau tidak menginap di puncak gunungnya. Tujuannya tentu saja agar bisa melihat sunrise. Penginapan di puncak gunung harganya bisa jutaan rupiah. Untunglah musim dingin itu low season jadi dengan 90 Yuan bisa dapat satu bed di dorm hotel Bai Yun, agak turun sedikit dari Guang Ming Ding.
Hotel di puncak gunung? Ya benar, tidak salah baca. Bukan vila bukan gubuk bukan tenda. Ini beneran hotel, permanen, ada beberapa hotel malah.
Karena tidak ada moda transportasi selain jalan kaki, maka semua kebutuhan hotel dipasok oleh para pekerja yang memikul semua bahan kebutuhan itu. Bayangkan memikul karung beras, gas elpiji dan kawan-kawan dari kaki gunung sampai puncak dengan jalan-jalan bertangga. Tidak heran harga-harga disana mencapai puncaknya.Ketika sampai dorm masih sepi. Tadinya dikira gak bakalan ada lagi orang yang datang. Menjelang malam barulah segerombolan wisatawan lokal memenuhi dorm. Ada tiga rombongan yang datang. Yang satu rombongan wisata keluarga, satu lagi kelompok anak muda, satu lagi dua pasang mahasiswa-mahasiswi.
Oh iya dorm disini dipisah, ada dorm khusus cewek ada dorm khusus cowok. Setiap kamar dilengkapi dengan pemanas air, radiator pengatur suhu kamar dan shower air panas.
Saya banyak diam merasa roaming karena mereka semua orang berdialog tanpa dubbing. Salahsatu dari pasangan mahasiswa itu seperti bertanya kepada saya soal heater yang rusak (karena menunjuk-nunjuk heater). Saya jawab, “Sorry I can’t speak Chinese”. Dia terus saja ngomong bahasa silat mandarin itu.
Baru ketika mendekat dia berkata “Do you speak English? I thought you were speaking some kind of Chinese dialect” .
Akhirnya kami berkenalan, dan janjian untuk sama-sama melihat sunrise esok hari.
Hawa dingin membuat saya ingin menyeruput yang panas-panas. Penyesalan tiada tara karena saya tidak membawa bekal pop mie. Disana dijual sih semacam pop mie dengan tulisan kanji, saya tak berani membelinya.
Momen yang paling menyiksa adalah ketika melihat teman-teman se-dorm asyik menyeruput pop mie china itu. Slurppp… slrppp… nampak nikmat sekali. Saya bertahan dengan hanya menyeruput beberapa cangkir Energen. Tidak lupa, sebagai orang pintar saya juga minum Tolak Angin.
Pagi-pagi jam 5 saya sudah bangun dan melakukan persiapan naik ke Guang Ming Ding. Yang lain masih asyik dengan mimpinya. Saya baru sadar ternyata sunrise disini baru mulai jam 7 pagi. Wah kalau di Jakarta sudah terang benderang jam segitu.
Rupanya semalam walaupun dingin dan berkabut tapi tidak sampai turun salju. Saya sebenarnya berharap turun salju agar bisa menyaksikan pohon-pohon pinus dengan selimut putihnya. Tapi tak apalah, momen paling mengejutkan dari musim dingin di Huangshan adalah ketika melihat sebuah kolam kecil, sebagian airnya sudah jadi balok es batu. Baru pada perjalanan ke kota-kota lain di sebelah utara saya tahu ternyata itu masih cemen saja.
Ketika saya dan mahasiswa itu sampai di Guang Ming Ding, suasana masih gelap dan sepi. Dinginnya bukan main. Saya menggigil sambil menunggu mentari tak kunjung tiba.Tak lama kemudian terang pun datang. Kabut terbuka, dan tampaklah gugusan gunung-gunung lancip sejauh mata memandang. Para pemburu sunrise dengan senjata kamera-kamera canggihnya mulai beraksi. Mereka memenuhi hampir setiap spot yang memiliki pemandangan tak terhalang. Saya harus menunggu, bergantian, karena jalan menuju spot-spot tersebut begitu sempit dan curam.
Kalau sudah sampai puncak dan menyaksikan sunrise, ya tidak ada jalan lain selain turun kembali.
Berbeda dengan suasana saat mendaki yang berkabut tebal. Saat turun gunung cuaca cerah menyenangkan. Matahari bersinar hangat. Pemandangan yang tadinya berkabut sekarang mulai terbuka.
Alhamdulillah saya masih diberi kesempatan menyaksikan salahsatu keindahan ciptaan-Nya. Akhirnya the Sea of Clouds bisa saya coret dari lagu Enya.Simak foto selengkapnya di Galeri Foto Huangshan China.
Related Posts
Galeri Foto Huangshan China
Tujuan pertama di China saat musim dingin, gugusan gunung batu lancip di Prof. Anhui. Simak catatan perjalanannya di artikel Huangshan: Mendaki Gunung dalam Lukisan
Read moreHangzhou: Misi Mengelilingi Xi Hu
Sayang kalau tidak dipamerkan dituliskan. Catatan perjalanan di China daratan, 26 Jan – 8 Feb 2010, bagian kedua. Zhejiang Qi Ji Bus yang mengantarkan saya dari Tunxi kembali ke Hangzhou siang itu melaju tanpa hambatan.
Read moreGaleri Foto Tianjin China
Tianjin, bukan merupakan tujuan utama, tapi lumayan bisa merasakan kereta super cepat CRH Beijing-Tianjin dan pengalamn pertama bermain salju tebal disana.
Read more