Jejak Kompeni dan Nyai Roro Kidul di Gedung Negara
Kantor Bupati, atau kepala daerah, biasanya megah dengan gaya arsitektur modern. Tapi, banyak juga kantor bupati yang nyeni, setia dengan tradisinya. Arsitekturnya pun mencerminkan bentuk bangunan yang khas di daerahnya.
Bagi saya, kantor pemerintahan yang berasal dari gedung lama, apalagi gedung tua, bukan saja punya daya tarik tersendiri, tapi didalamnya ada jejak sejarah yang bisa dibaca dan dicatat. Merawat gedung tua, sama dengan merawat sejarah itu sendiri. Merawat jejak dan kisah masa lalu, yang bisa jadi warisan berharga bagi anak cucu kelak.
Maka, ketika saya mendengar gedung radio tempat Bung Tomo mengumandangkan semangat perang lawan sekutu pada 10 November 1945 dirobohkan, rasanya sedih sekali. Jejak sejarah ikut hilang, seiring ratanya gedung tersebut. Padahal bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Salah satunya adalah gedung-gedung yang punya nilai historis.
Kantor Bupati Purwakarta, mungkin salah satu gedung kepala daerah yang masih setia dengan sejarahnya. Gedung lama tetap digunakan. Bahkan di rawat dan dipoles. Berpadu dengan sentuhan arsitektur modern dari gedung-gedung sekitarnya. Kantor Bupati Purwakarta yang antik pun jadi daya tarik tersendiri.
Saya pernah berkunjung ke sana. Datang, bahkan masuk ke dalam gedung yang dipakai jadi kantor dinas Bupati Purwakarta. Gedungnya cukup besar. Gedung lama. Teras atau serambi gedung lumayan luas. Atapnya di sangga oleh tiang-tiang bulat besar. Di tiang bagian bawah, dibungkus kain dengan corak hitam putih. Mirip kain-kain pembungkus di Bali.
Lantai gedung dari marmer. Di teras, dipajang kereta tua. Ada tiga kereta yang dipajang. Sayang, saat saya berkunjung ke sana, dua kereta diselubungi kain putih. Jadi tak bisa dilihat jelas. Di sebelah sisi gedung, ada pajangan lain, kendaraan becak.
Pintunya dari kayu. Bentuknya, seperti pintu bangunan ala zaman kolonial. Tinggi, dan besar. Pun jendelanya. Masih di teras gedung, dipajang gong, hiasan dari kayu, dan guci. Di atapnya, tergantung lampu hias jaman jadul. Sungguh artistik. Di depan gedung, terdapat bangunan pendopo. Cukup besar dan luas.
Masuk ke ruang depan gedung, terdapat sederet kursi dan meja. Sepertinya, ini ruang tamu. Tapi yang menarik mata, adalah lukisan besar kepala harimau yang langsung menghadap ke pintu depan. Di dinding sisinya, tergantung lukisan pemandangan gunung dan danau, dengan goresan warna hitam putih.
Namun yang menarik, adalah lukisan besar Nyi Roro Kidul, sosok legenda penguasa laut selatan. Lukisan Nyi Ratu Roro Kidul inilah, daya tarik utama ruangan Bupati Purwakarta. Dengan adanya lukisan itu, terasa ada aroma magis dalam ruangan. Saya sempat menatap lekat lukisan itu. Wajah Nyi Roro Kidul, tampak cantik. Ia berdiri, di apit dua harimau putih di sisi kiri dan kanannya. Tangan kirinya, tampak mengelus pundak salah satu harimau putih. Dua harimau itu pun, terlihat seperti dua penjaga sang ratu.
Masyarakat Purwakarta sendiri mengenal kantor Pak Bupati dengan nama Gedung Negara. Dari hasil searching di Google, gedung ini memang gedung lama. Dibangun sekitar tahun1831. Zamannya kompeni Belanda bercokol. Gaya arsitekturnya Eropa banget. Berarti cukup tua ya. Purwakarta sendiri awalnya bagian dari Kabupaten Karawang. Bahkan, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1831, Purwakarta ditetapkan jadi ibukotanya Kabupaten Karawang. Status sebagai bagian dari Kabupaten Karawang berlangsung sampai tahun 1950. Baru pada 1968, Purwakarta jadi kabupaten sendiri. Pendopo depan Gedung Negara juga sama tuanya. Pendopo dibangun sekitar tahun 1831. Di tahun itu, menurut keterangan Wikipedia.org, dimulai pembangunan fisik kota. Pembangunan dimulai dengan mengurug rawa-rawa yang nantinya menjelma jadi Situ Buleud, tempat yang sekarang dibangun Taman Air Mancur Sri Baduga. Pembangunan, Gedung Karesidenan, Pendopo, Mesjid Agung, Tangsi Tentara di Ceplak, termasuk membuat Solokan Gede, Sawah Lega dan Situ Kamojing, juga dilakukan sekitar tahun 1831. Jadi, kalau sedang singgah di Purwakarta, saya sarankan singgah sebentar ke Gedung Negara. Ya, itung-itung wisata sejarah. Di sana, selain bisa mengagumi Gedung Negara, kita juga bisa menikmati rindang dan indahnya Taman Maya Datar yang terletak di depan gedung. Namun harus minta ijin dulu ke petugas yang berjaga di sana.
Gedung Negara atau kantor Bupati Purwakarta
Alamat : Jl Gandanegara No 25, Purwakarta, Jawa Barat
Related Posts
Adisutjipto Airport, Bandara yang Jawa Banget
Setiap bepergian keluar kota, apalagi bila pakai pesawat terbang, hal yang selalu saya catat, selain layanan maskapai juga kondisi serta wajah bandara yang saya singgahi. Selalu ada yang menarik yang bisa saya catat. Terutama keunikan dari bandara tersebut. Sisi lain yang membuat bandara itu punya ciri khas.
Salah satu bandara yang menurut saya punya ciri khas adalah Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Bandara ini, ada di Sleman, salah satu kabupaten yang masuk wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mengutip keterangan di Wikipedia.org, Adisutjipto Airport dulunya bernama Pangkalan Udara Maguwo yang dibangun pada sejak tahun 1940. Dinamakan Maguwo, karena letaknya memang ada di Desa Maguwoharjo.
Masih menurut Wikipedia, pada tahun 1945 Pangkalan Udara Maguwo di ambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dan tetap difungsikan sebagai pangkalan udara. Di pangkalan ini, para kadet sekolah penerbangan berlatih terbang.
Nama Adisutjipto diambil dari nama pimpinan para kadet sekolah penerbang, yaitu Agustinus Adisutjipto. Adisutjipto sendiri gugur pada 29 Juli 1947, setelah pesawat Dakota VT-CLA yang dikemudikannya ditembak militer Belanda. Pada 17 Agustus 1952, pangkalan udara Maguwo resmi diubah namanya menjadi pangkalan udara Adisutjipto. Fungsinya masih tetap sebagai bandara militer.
Baru pada 1964, pangkalan Adisutjipto juga dipergunakan untuk penerbangan sipil, setelah keluarnya keputusan bersama antara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dengan Angkatan Udara Indonesia yang menyetujui pelabuhan udara AdiSutjipto menjadi pelabuhan udara Gabungan Sipil dan Militer.
Kemudian keluar PP Nomor 48 Tahun 1992. Dengan payung hukum PP tersebut, pada 1 April 1992, Bandar Udara Adisutjipto resmi masuk ke dalam pengelolaan Perum Angkasa Pura I.
Namun meski begitu, bandara ini juga masih tetap dipakai TNI-AU untuk melakukan latihan terbang bagi pesawat-pesawat tempurnya. Jadi jangan heran, bila bandara suka ditutup sementara. Itu tandanya, bandara sedang dipakai untuk latihan terbang pesawat TNI-AU.
Senin, 25 April 2016, saya berkesempatan pergi ke Yogyakarta. Saya ke sana untuk meliput kegiatan hari otonomi daerah yang dilangsungkan di Kabupaten Kulon Progo. Hari Selasa 26 April, saya kembali pulang ke Jakarta via Adisutjipto Airport. Saat turun dari mobil yang mengantar dari hotel tempat menginap selama di Yogya, saya tiba-tiba saja tertarik untuk memperhatikan sisi lain dari bandara tersebut.
Arsitektur bangunannya yang menurut saya menarik. Bangunan Bandara Adisutjipto bisa dikatakan sederhana saja. Terminal utama bandara hanya bangunan yang memanjang. Tidak bertingkat, cuma satu lantai. Jika dibandingkan dengan Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang atau Bandara Hasanuddin di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Adisutjipto jauh kalah megah. Perbandingannya mungkin seperti bumi dan langit.
Bahkan bangunan Bandara Adisutjipto terkesan tradisonal. Hanya satu lantai. Dan tidak begitu luas. Aroma Jawa begitu kental melekat dalam desain gedungnya. Tempat menurunkan penumpang misalnya, citra rasanya Jawa banget, dengan keberadaan pendopo yang menaunginya.
Tiang pendopo tempat menurunkan penumpang terbuat dari kayu. Diplitur warna coklat tua dengan ukiran khas Jawa. Pun bentuk atapnya, sangat Jawani. Langit-langitnya juga begitu, menampilkan aroma yang Jawa banget. Tampak tergantung lampu dengan model tradisional. Di sisi kiri kanan pendopo, ada patung besar dari batu. Begitu juga selasar yang ada di komplek bandara. Ruang tunggu keberangkatan penumpang juga tak begitu luas. Aroma Jawa sangat terasa.
Dengan bentuk arsitekturnya yang seperti itu, Adisutjipto Airport punya ciri khas tersendiri. Bandara ini sangat menggambarkan tempat dimana bandara itu berdiri. Yogyakarta, bumi Mataram. Dengan memperhatikan setiap lekuk bangunannya, kita merasakan ada semacam jejak masa lalu.
Jejak yang membuat bandara tersebut seakan punya cerita. Cerita tentang masa silam yang tetap tertaut hingga hari ini. Entah mengapa saya suka Bandara Adisutjipto. Bangunannya seakan punya wibawa. Punya semangat untuk tetap tegak, tak mengekor gaya bangunan era modern. Percaya diri dengan jatidirinya.
Karena itu Bandara Adisutjipto tak terlihat pongah. Suasananya justru terasa akrab dan hangat. Tidak asing dan terasa tak berjarak. Ketika saya tiba mendarat dari Jakarta, lalu keluar dari badan pesawat, bangunan terminal bandara seperti sahabat lama yang menyambut dengan hangat.
Tidak ada belalai Garbarata laiknya bandara-bandara besar. Dan bagi saya, itu yang membuat bandara Adisutjipto terasa bersahabat. Selalu saja, jika menginjakan kaki di bandara Adisutjipto, waktu terasa melambat. Tidak tergesa. Tapi berjalan alon.
Dua kali sebelumnya saya pernah pergi ke Yogyakarta. Dan kunjungan kali ini yang ketiga kalinya. Tidak ada yang berubah. Kehangatan dan keakraban terasa langsung menyergap, begitu kaki melangkah masuk ke terminal kedatangan penumpang. Saat pulang, ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang akrab dan tenang.
Begitu pesawat yang membawa saya terbang mengangkasa ke Jakarta, waktu kembali terasa berderap cepat. Apalagi saat pesawat sudah mendarat kembali di Bandara Soekarno-Hatta. Lalu memasuki ruang terminal bandara yang modern, rasa sumpek langsung mendera. Selamat datang kembali ke rutinitas yang hiruk pikuk.
Tapi bukan berarti Bandara Soekarno-Hatta tak punya daya tarik. Di terminal 2F, terutama di ruang tunggu keberangkatan penumpang, aroma Indonesia begitu terasa. Ruang tunggu di terminal 2F, sangat khas. Penuh ukiran. Bagi saya, ruang tunggu di terminal 2F, sangat Indonesia banget. Bandara lainnya yang punya ciri khas, adalah Bandara Ngurah Rai, Bali. Aroma pulau dewatanya begitu terasa dengan hadirnya ornamen-ornamen khas Pulau Dewata.
Saya kira, bandara-bandara di Indonesia harusnya punya ciri khas yang kuat. Ciri khas yang bisa menggambarkan daerah tempat bandara itu berdiri. Meski modern, harusnya nilai kultur, budaya dan tradisi tetap melekat. Tak lantas kemudian raib, demi sebuah kemegahan yang terasa asing. Karena pepatah mengatakan, di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Di mana bandara itu berdiri, di situ adat istiadat tetap dihormati.
Read moreGudeg Adem Ayem Solo, Lezat dan Menjadi Langganan Tetap Para Pejabat
Rumah Makan (RM) Adem Ayem Solo berhadapan langsung dengan rumah dinas walikota Surakarta atau Loji Gandrung. Tepatnya di Jl. Slamet Riyadi 342, Kelurahan Penumping, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta.
Read moreKendati Sudah Mereda, Tips Wisata Usai Pandemi Ini Tetap Perlu Kalian Terapkan
Meski sudah ada pelonggaran, ada beberapa tips wisata usai pandemi yang perlu menjadi perhatian. Kesehatan tetap merupakan urusan utama yang perlu mendapat kepedulian tinggi, termasuk faktor-faktor penting yang lain.
Read more