Kenangan Perjalanan Mudik, Mendulang Uang dari Buang Hajat
Lebaran telah lewat. Jutaan pemudik pun telah kembali ke kota, setelah berlebaran di kampung halamannya masing-masing. Kota kembali ramai, setelah sepi sejenak ditinggal penghuninya bermudik ria. Macet kembali jadi menu sehari-hari.
Tapi, selalu saja ada kisah menarik dari tradisi mudik yang telah jadi ciri khas Indonesia siap lebaran tiba. Tak hanya macet sampai berjam-jam, tradisi mudik pun telah jadi tambang rezeki bagi warga. Terutama di jalur yang dilewati para pemudik.
Salah satu yang kerap menjadi ‘penyakit’ para pemudik salah satunya adalah keinginan buang hajat. Tentu, buang hajat, semisal kebelet kencing, saat musim mudik bukan kegiatan yang mudah dilakukan. Apalagi ketika terjebak di tengah kemacetan, dimana kendaraan sama sekali tidak bergerak. Sementara kendaraan ada ditengah jalan tol.
Tapi selalu saja ada dewa penolong di saat-saat kritis. Seperti yang dialami saya saat mudik lebaran kemarin. Ketika itu, sehabis sholat Idul Fitri dan usai bersilahturahmi dengan tetangga dan kerabat, saya bersama istri, dua anak saya dan mertua, meluncur dengan niat mudik ke kampung halaman, di ujung timur Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Tapi, sejak masuk pintu tol Cilandak yang mengarah ke tol Cikampek, kemacetan sudah mengular panjang. Padahal saat itu hari H. Ternyata, tepat di hari lebaran, arus pemudik tak juga surut. Saya pikir, jalanan lowong. Ternyata masih padat. Bahkan tak sekedar padat. Tapi, teramat padat, hingga macet mengular.
Kendaraan pun merangkak perlahan. Bahkan beberapa kali terpaksa harus berhenti, karena arus kendaraan sama sekali tak bergerak. Setelah berjam-jam merayap, akhirnya tiba di ruas jalan dekat pintu tol Cikunir, Bekasi.
Tiba-tiba keinginan buang hajat merangsek. Mendesak-desak tak bisa ditahan. Awalnya, coba ditahan, dengan harapan bisa segera tiba di rest area. Tapi, arus kendaraan yang padat, sepertinya tak mungkin lagi menahan keinginan buang hajat sampai rest area. Mertua saya juga begitu, gelisah menahan keinginan buang hajat.
Beberapa mobil berhenti di bahu jalan. Nampak, banyak pemudik yang diam-diam melakukan buang hajat di balik kendaraannya. Bagi pemudik laki-laki, buang hajat di tempat darurat, mungkin bukanlah halangan. Tapi, bagaimana dengan para pemudik perempuan. Buang hajat di tempat darurat, tentu harus dipikir ribuan kali. Apalagi di tengah ribuan pasang mata pemudik.
Untungnya, selalu saja disaat darurat, ada ‘malaikat penolong’. Di tepian pinggir jalan tol, tepat di seberang bahu jalan, saya lihat selembar kertas kardus di pasang dengan tulisan besar-besar : WC Umum. Senang dan lega rasanya membaca itu.
Di dekat kertas kardus bertuliskan WC Umum, nampak satu tangga kayu dipasang. Tangga kayu yang dibuat seadanya itu disenderkan ke tembok pemisah jalan tol dengan pemukiman warga. Ternyata, itulah cara warga jadi ‘malaikat penolong’ bagi pemudik yang kebelet buang hajat. Para pemudik yang sudah tak tahan untuk buang hajat bisa memanfaatkan jasa mereka.
Hanya saja memang butuh sedikit perjuangan. Pemudik yang kebelet kencing, atau mau buang hajat besar bisa memanfaatkannya. Tinggal menepikan mobil di bahu jalan. Lalu, menyebrang melewati jembatan kecil menuju tangga. Baru setelah itu, sedikit bersusah payah naik tangga. Lalu meloncati tembok.
Di balik tembok itulah WC Umum berada, yang tak lain adalah kamar mandi di rumah warga. Di depan, seorang lelaki tampak berjaga. Sepertinya dia pemilik rumah. Masih di depan rumah, terlihat meja yang penuh dengan tumpukan mie instan langsung seduh, kopi sachetan, rokok dan minuman air mineral botolan.
” Silahkan mas, kamar mandi di dalam,” kata lelaki paruh baya yang dari tadi menjaga di depan rumah.
Ternyata, saat saya sudah dalam rumah, kamar mandi hanya satu. Alhasil harus ngantri menunggu giliran. Di depan kamar mandi, karena masih ada beberapa orang berbaris. Mereka para pemudik yang hendak buang hajat juga. Akhirnya tiba juga giliran saya. Lega rasanya setelah buang hajat. Plong.
Di depan rumah, lelaki yang tadi berjaga sudah menunggu. Di depannya, ada sebuah kardus. Saya tengok penuh berisi lembaran rupiah. ” Berapa Pak? ” Tanya saya, menanyakan tarif buang hajat.
” Lima ribu mas,” jawab lelaki penjaga rumah sambil tersenyum ramah.
Iseng-iseng saya menyempatkan diri mengajaknya ngobrol. ” Berapa Pak penghasilan sehari?”
Dia tertawa. ” Lumayan mas he he he,” ujarnya.
Ia pun kemudian sedikit bercerita. Katanya, kadang dia tak bisa tidur, apalagi ketika macet menggila. Tiba-tiba, dia mengarahkan telunjuk tangannya ke rumah lainnya. Rumah di sebelah rumahnya. Kata dia, rumah itu milik kerabatnya. Rumah itu juga oleh kerabatnya difungsikan sebagai sebagai WC Umum.
Pertama kali ia punya pikiran memfungsikan kamar mandi rumahnya jadi WC umum, saat sering melongok ke arah jalan tol. Ketika itu, ia hanya ingin melihat orang yang pulang mudik. Dilihatnya, banyak pemudik terpaksa buang hajat dadakan di pinggir jalan tol. Saat melihat itu, ide pun datang, menyulap kamar mandi rumahnya jadi WC umum untuk pemudik.
Setelah itu ia baru bicara dengan kerabatnya. Ternyata kerabatnya juga tertarik. Bersama dengan kerabatnya, dia memasang plang nama dan membuat tangga dari kayu. Kebetulan pula, parit yang menuju pagar yang memisahkan rumahnya dengan area jalan tol, dilengkapi dengan jembatan kecil dari beton. ” Ternyata yang mau buang hajat banyak, memilih ke sini, karena kan bisa juga buang hajat besar,” ujarnya.
Dalam sehari, dengan malu-malu ratusan ribu dikantonginya. Bahkan, ketika puncak arus mudik penghasilannya bisa tembus jutaan rupiah. Hanya saja, ia mesti rela begadang. ” Alhamdulillah lumayan mas,” katanya.
Related Posts
Warkop ‘Burjo’ Van Kuningan
Warung ‘burjo’ identik dengan orang Kuningan, karena pemiliknya banyak yang berasal kabupaten tersebut. Ngopi pagi hari, bagi saya adalah kegiatan kuliner yang wajib ditunaikan.
Read moreTape Ketan Kuningan, Kuliner Kesukaan Sang Jenderal
Tulisan ini, adalah catatan perjalanan saat mudik lebaran kemarin. Libur lebaran usai, tradisi bawa oleh-oleh dari kampung, wajib di tunaikan. Tentunya, makanan khas yang paling banyak diburu untuk dibawa sebagai buah tangan dari kampung.
Read moreKafe Kecil Di Jalan Bebas Hambatan
D’7uan, kafe kecil nyaman di rest area Km 42 Tol Cikampek Waktu sudah lewat pukul 14.00 Wib, ketika mobil yang saya tumpangi keluar dari Kota Purwakarta, lalu masuk pintu tol menuju Jakarta.
Read more