Menengok Pos TNI Penjaga Perbatasan Indonesia-Malaysia
Sekitar pukul tiga sore waktu setempat, Pak Ihim Surang, mantan camat Kayan Hulu, yang ikut menemani kami dalam kunjungan ke Desa Long Nawang, Kalimantan Utara, menawarkan pergi ke pos tentara yang menjaga perbatasan. Kata dia, pos tentara itu tepat ada di wilayah yang langsung berhadapan dengan Malaysia.
Tentu tawaran yang menarik, pikir saya. Tanpa pikir panjang saya langsung mengiyakan. Ternyata, beberapa wartawan yang juga ikut berkunjung ke Long Nawang, sudah pergi duluan. Mereka juga pergi ke pos tentara, pakai mobil milik TNI.
Bersama Carlos, Ken Girsang dan Bayu, saya langsung meloncat ke bak belakang mobil. Mobil yang akan mengantar saya, mobil double gardan. Sementara Pak Ihim, duduk di depan bersama supir. Mobil pun langsung melaju keluar dari desa. Lepas dari mulut desa, kami langsung dihadapkan pada jalan tanah kembali.
Debu mengepul, ketika mobil melaju kencang. Makin jauh, kondisi jalan makin buruk. Bahkan, makin banyak tikungan. Tanjakan pun, kian sering ditemui. Kami melewati ladang-ladang penduduk. Kemudian berganti dengan hutan dengan pohon yang masih tinggi menjulang.
Langit begitu bersih. Warna birunya, sangat terasa diselingi kerumunan awan-awan putih. Pemandangan yang menghibur mata. Udara pun terasa sangat segar. Angin sejuk sore hari menerpa wajah. Telinga kami juga dimanjakan oleh suara-suara burung dari balik jejeran pohon.
Makin jauh, jalanan makin menanjak. Bahkan, beberapa kali, kami menemui tanjakan curam yang membuat mobil harus bergerak perlahan. Apalagi, banyak tanjakan yang tak rata. Bergelombang. Mobil pun, harus bergerak hati-hati.
Tapi, begitu lepas dari tanjakan, mobil kembali melesat. Tubuh kami pun kembali harus berajojing, dibanting ke kiri dan ke kanan. Kadang melonjak, lalu kembali terhempas. Sungguh, perjalanan yang lumayan memacu adrenalin.
Saya pun harus berpegangan erat ke tepi bak mobil, agar tak terlalu terbanting-banting. Tiga orang teman seperjalanan, Carlos, Ken dan Bayu juga demikian. Mereka berpegangan erat ke tepi bak mobil. Sepanjang perjalanan, kami mengobrol ngalor ngidul. Bercerita tentang gadis-gadis Dayak yang cantik di Desa Long Nawang.
Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan satu mobil tentara. Ternyata, mereka mengangkut rombongan wartawan yang tadi berangkat dulu. Kami sempat turun sebentar. Setelah itu melanjutkan perjalanan. Sekitar satu jam perjalanan, akhirnya kami tiba di pos tentara. Dari kejauhan, tampak sudah terlihat pos penjaga republik tersebut.
Pos, ada di atas bukit, tepat di depan jalan yang mengarah ke Malaysia. Pintu penghalang, atau semacam portal yang terbuat dari kayu melintang di tengah jalan. Di sisi jalan, tampak pagar yang dilengkapi dengan kawat berduri. Dua orang tentara berpakaian loreng berdiri di tepi jalan.
Mobil pun berhenti. Kami, berempat, langsung berloncatan dari bak mobil. Begitu turun, sebentar merenggangkan tangan. Rasanya badan terasa pegal, karena diguncang sepanjang perjalanan. Dengan ramah, dua tentara yang berdiri di tepi jalan menyambut kami.
Kami pun langsung menuju pos, lewat jalan kayu. Sebuah bangunan yang dicat loreng pun terlihat. Ini pos tempat para penjaga republik menjaga setiap jengkal tanah Indonesia. Di depan markas jaga, sebuah plang ditancapkan. Plang tersebut bertuliskan Pamtas Yonif 527/BY. Di halaman depannya, tertancap tiang bendera. Tampak Merah Putih berkibar di pucuk tiang.
” Ayo mas masuk. Silah, silahkan. Inilah rumah kami,” ujar seorang tentara.
Seorang tentara, menyalami kami, seraya memperkenalkan diri. ” Saya Nuryanto, Wadan (Wakil Komandan), di sini,” katanya.
Pak Nuryanto pun kemudian mempersilahkan kami duduk sebentar di dalam pos. Dia berpangkat Sersan Satu atau Sertu. Tak berapa lama, seorang tentara, sepertinya bawahan Pak Nuryanto datang membawa beberapa gelas teh manis hangat. ” Minum dulu mas, hanya teh manis nih, tidak ada kuenya, he.he.he,” kata dia. Kami pun berkenalan. Namanya, Abdul Kholik.
Sambil menyereput teh manis hangat, Pak Nuryanto pun bercerita. Kata dia, pasukan yang berjaga di pos perbatasan berasal dari batalion yang bermarkas di Lamongan Jawa Timur. Batalion ini, dibawah kendali Kodam Brawijaya.
” Di sini ada 15 personil semuanya. Kami mulai bertugas pada 24 Juni 2015″ kata Pak Nuryanto.
Tapi karena hendak merayakan peringatan hari kemerdekaan, sebagian personil penjaga pos perbatasan turun ke Desa Long Nawang. Jadi, kata dia, sekarang pos hanya dijaga 4 personil saja. Pos tentara sendiri, berdinding kayu. Hanya setengahnya yang berdinding semen.
Di depan, ada lapangan voli. Sementara di sampingnya, terdapat papan-papan solar cell, untuk menjaring energi matahari. Solar cell itulah yang diandalkan para tentara untuk mendapatkan energi listrik. Tapi, kata Pak Nuryanto, ada juga mesin diesel. Tapi, mesin sedang rusak.
Di belakang pos, hutan yang cukup lebat. Saya sempat berkeliling masuk ke dalam pos. Ada beberapa kamar yang dilengkapi dengan dipan. Agak ke belakang ada sebuah ruangan yang sepertinya sebuah dapur. Di dalamnya, ada sebuah kompor minyak tanah, seperangkat alat makan, piring dan mangkuk. Sementar kamar mandi terletak paling belakang
Setelah puas berkeliling, saya kembali ke ruang depan. Saya sempat mengamati sejenak. Tak ada televisi sama sekali. Saya pun bertanya ke Pak Nuryanto, kenapa tak ada televisi.
” Teve engga ada mas. Jadi ya enggak ada hiburan,” kata Pak Nuryanto.
Abdul Kholik ikut nimbrung. Katanya hiburan bagi yang berjaga, jika tak olahraga, biasanya main gitar. Lumayan untuk membunuh sepi. Ia pun menunjuk sebuah gitar yang tersendiri di dinding pos.
Solar cell sendiri, kata Pak Nuryanto, cukup membantu. Hanya saja, energi listrik yang dihasilkan, jika hari tak begitu terik, hanya bisa sampai tengah malam. Setelah itu, langsung mati. Jadi, terpaksa mesti hemat-hemat energi. Misal untuk mengecas handphone.
” Kalau begitu, bisa internetan dong pak?” celetuk saya, begitu mendengar kata handphone.
Pak Nuryanto tertawa. Kemudian ia berkata. Katanya, boro-boro internet, dapat sinyal pun sudah sangat beruntung. Saya langsung tersadar. Sinyal handphone adalah ‘barang mewah’ di perbatasan. Di Desa Long Nawang, sama sekali saya tak dapat sinyal. Padahal, sudah pakai kartu dari operator terkenal di negeri ini. Tetap saja sinyal tak nyangkut.
” Tapi di sini, ada tempat kami dapat sinyal,” kata Pak Nuryanto.
Ia pun mengajak kami pergi ke tempat menjaring sinyal handphone. Tempatnya tak terlalu jauh dari markas atau pos jaga. Menuju kesana, kami melewati sebuah bangunan permanen dari tembuk yang terbengkalai. Bangunan tersebut, atapnya sudah rusak. Pun jendela dan pintunya. Semua rusak dan kotor.
” Itu bangunan apa pak? Kok tidak digunakan, sayang sekali,” kata saya.
” Oh itu dulunya bangunan untuk petugas imigrasi dan yang satunya buat Brimob. Tapi, sudah lama tak dipakai lagi,” kata Pak Nuryanto.
Saya pun hanya melongo mendengar jawaban Pak Nuryanto. Sungguh mubazir. Duit rakyat tentu terbuang sia-sia. Sebuah contoh telanjang pemborosan uang negara. Pak Nuryanto berhenti. Ia menunjuk sebuah pondok dari kayu. Pondok itu, tampak miring, seperti mau roboh.
” Di pondok itu, sinyal telepon bisa di dapat. Tapi harus naik ke atas,” katanya.
Abdul Kholik yang ikut menemani kami, ikut menambahkan. Kata dia, pondok tempat menjaring sinyal, namanya pondok ‘Cinta’. Dinamakan pondok ‘Cinta’, karena disanalah para tentara yang rata-rata sudah berkeluarga, melepas rindu pada istri dan anak-anaknya. Bagi yang lajang, pondok Cinta, adalah pelepas kangen bagi sang kekasih.
” Tapi kalau nelpon harus naik, digantung, gese-geser dikit, ya kadang sinyal hilang, kadang ada. Sinyal bagusnya itu sore jam 4 sore. Pakai hape jelek baru dapat. Kalau pakai handphone layar sentuh justru susah nangkap sinyal,” kata Abdul Kholik, agak panjang lebar.
Kami juga kemudian diajak ke tempat mandi para tentara. Tempatnya ada di seberang markas. Hanya terpisahkan ruas jalan tanah yang bergelombang. Menariknya, tempat mandi itu ada di wilayah Malaysia. Di pinggir hutan, dikelilingi semak belukar.
Saat kami tiba di sana, terdapat sebuah kubangan berisi air. Air itulah yang kemudian dipakai untuk mandi. Caranya, air diambil pakai ember, lalu dipindahkan ke potongan drum yang difungsikan sebagai bak mandi. Pak Nuryanto pun kemudian memperagakan cara mengambil air dari kubangan. Ember yang sudah diberi tali, di lempar ke kubangan. Ember pun kemudian terisi air. Langsung ditarik ke atas. Setelah itu, ember di bawa ke bilik terpal, tempat drum berada. Dan airnya dituangkan dalam drum.
“Ya begitu caranya, sampai drum penuh. Ya kami ini ibaratnya, buang puntung rokok di Malaysia. Mandi pun ya di Malaysia,” kata dia.
Namun kemarin, katanya, air kubangan kering. Terpaksa ngambil air ke bawah. Pos penjaga perbatasan sendiri ada di ketinggian. Posisinya ada di ketinggian 900 di atas permukaan laut. Sementara air untuk masak dan minum, pakai air hujan yang ditampung di tandon.
” Ya enggak ada suplai air dari bawah. Pakai apa mas. Tanjakanya curam. Jauh pula. Ke Long Nawang saja, jaraknya 32 kilometeran,” ujar Pak Nuryanto.
Meski serba terbatas, tapi Pak Nuryanto tetap semangat. Katanya, tugas di Long Nawang masih mendingan, ketimbang tugas di perbatasan Papua. Di Papua, selain rawan gangguan keamanan juga selalu dihantui ancaman malaria. Di Long Nawang, relatif aman. Meski diakuinya, fasilitas jauh dari memadai. Tapi karena tugas negara memanggil, ia harus siap ditempatkan di mana pun juga.
” Dulu di sini ada sepeda motor yang dua tinggal rangka. Yang satu sudah rusak juga,” katanya.
Malaysia sendiri kata Pak Nuryanto tak punya pos yang dijaga full seperti Indonesia. Hanya ada satu pos di daerah Tapak Mega, sebuah daerah di Malaysia, tempat pemotongan kayu. Namun kata Pak Nuryanto lagi, tentara penjaga perbatasan Malaysia enak. Mereka satu bulan jaga, setelah itu satu bulan libur.
Jalan depan pos jaga sendiri, tembus ke Malaysia. Jalan ini menyambung sampai ke Tapak Mega. Di Tapak Mega, selain ada perusahaan kayu, juga ada sebuah kantin besar milik perusahaan. Semacam mini market. Warga Indonesia, jika belanja barang kebutuhan seperti sembako lebih sering ke Tapak Mega, ketimbang ke Samarinda.
Jika pergi ke Samarinda, selain jauh, jalanya pun rusak. Sementara kalau ke Tapak Mega, meski jalan masih berupa jalan tanah, namun jaraknya tak terlalu jauh. Tiap hari, selalu saja ada warga yang melintas menuju Tapak Mega. Masyarakat yang berasal dari Suku Dayak, tak terlalu sulit masuk ke Malaysia. Mereka dapat semacam dispensasi dari polisi Malaysia. Terutama bagi mereka yang menag punya kerabat di Malaysia.
” Kalau Suku Dayak kesana sudah aman. Mereka dapat dispensasi dari polisi Malaysia. Kecuali wajah kita lain, baru dipertanyakan,” katanya.
Hari makin menjelang senja. Suasana makin sepi. Bunyi-bunyi dari hutan, kian terdengar jelas. Langit meredup, tanda senja akan datang. Menurut Pak Nuryanto, jika sudah malam datang, rasa rindu kepada keluarga membuncah. Jika tak ada jadwal operasi, kegiatan rutin malam hari, hanya mengobrol di dalam pos. Atau melamun. Tak ada hiburan yang bisa dinikmati.
” Yang tersiksa itu kalau sudah musim hujan. Kalau hujan seharian, ya tak ada listrik. Solar cell tak berfungsi, ya terpaksa gelap-gelapan,” kata Pak Nuryanto.
Karena hari sudah menjelang malam, kami pun pamit. Perjalanan turun ke Long Nawang, bukan perjalanan mudah. Apalagi pulang saat hari sudah remang. Setelah saling bersalaman, mobil yang kami tumpangi mulai bergerak. Saya dan tiga teman kembali duduk di bak belakang. Pak Nuryanto dan anak buahnya berdiri di pinggir jalan. Terlihat dia melambai. Kami pun, balas melambai. Hari makin gelap. Malam mulai datang.
Related Posts
Long Nawang, Perjalanan ke Tapal Batas Negara
Aliran Sungai Kayan di pinggir Desa Long Nawang, Kaltara Setiap dapat tugas pergi ke perbatasan, entah kenapa saya selalu bungah.
Read moreSensasi Naik Pesawat Kecil Bersama Pak Menteri
Pesawat Pilatus yang membawa Mendagri ke Long Nawang Naik pesawat berbadan lebar seperti Boeing atau Airbus mugkin sudah biasa.
Read moreFoto-foto di Kuala Lumpur
Kuala Lumpur, leg terakhir dari perjalanan perdana kami melongok 3 negeri seberang. Apa yang istimewa dari ibukota negeri jiran ini? Terus terang kalau saya suka memperhatikan tulisan, pengumuman, petunjuk jalan dalam bahasa Melayu.
Read more