Menikmati Pojok Bali yang Sepi
Hari Senin, 16 Mei 2016. Mendadak saya harus ke Bali. Pulau Dewata. Pulau idaman para turis. Saya kesana, untuk meliput Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, yang akan menutup acara Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar.
Pemberitahuan mendadak, saya sampai terburu-buru menyiapkan banju ganti. Celana dalam ganti sampai ketinggalan. Alhasil saya ke Bali, tak membawa pengganti.
Tapi karena pergi ke Bali, saya selalu senang. Pulau itu, tak pernah membuat saya bosan. Seperti magnet, datang, pergi dan ingin datang lagi. Suasana Bali yang saya suka. Meski sekarang Bali hiruk pikuk dengan turis. Namun entahlah, Bali bagi saya punya daya tarik sendiri.
Suasana kotanya, alamnya, budayanya dan keramahannya, selalu membuat saya betah tinggal di sana. Dan kesempatan berkunjung ke Bali datang. Haram untuk ditolak. Meski dalam rangka urusan kerja, tapi setidaknya saya bisa mencuri waktu untuk menikmati Bali.
Dari Jakarta, saya bersama rombongan Pak Menteri terbang dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang Banten. Pak Menteri hanya ditemani satu ajudannya plus Pak Acho, Kabag Humas Kementerian Dalam Negeri. Selain saya, ikut juga Carlos, seorang wartawan harian cetak.
Datang ke Bandara Soekarno-Hatta, sore hari, sekitar pukul 17.30 Wib. Di bandara ternyata sudah menunggu Carlos dan Pak Acho yang sudah datang dulu. Tak lama, Pak Menteri dan ajudannya tiba. Kami pun masuk bandara, menuju ruang tunggu.
Sebelum masuk terminal keberangkatan atau ruang tunggu penumpang, Pak Menteri sempat mampir ke toko buku. Tak lama dalam toko buku, ia keluar lagi, sambil menenteng tiga buku tebal, bergambar Soekarno. Tiba-tiba, ia membagikan buku tersebut. Saya dapat satu buku. Carlos juga diberi satu buku. Terakhir, Pak Acho dapat jatah yang sama.
” Buku ini menarik, untuk mengenang sejarah,” kata Pak Menteri saat membagikan buku.
Wah, rasanya senang sekali dihadiahi buku. Setidaknya, ini bisa jadi teman perjalanan. Bukunya tebal. Saya sendiri sebenarnya sudah bawa satu buku tentang kisah perjalanan seorang traveller yang belajar bahasa Italia sembari melancong mengitari negeri Pizza tersebut.
Setelah boarding, langsung masuk ke pesawat. Pesawat Airbus, ternyata yang akan menerbangkan saya ke Bali. Pesawat ini berbadan lebar. Tak seperti pesawat yang saya naiki. Di tengah masih ada deretan kursi. Biasanya pesawat jenis ini, dipakai untuk penerbangan jarak jauh. Seperti ke luar negeri misalnya. Benar saja menurut Mbak Pramugari yang saya tanya, pesawat ini, setelah singgah di Bali, akan lanjut ke Sidney, Australia.
Pukul 18.00 lewat, pesawat mulai bergerak ke run way. Agak terlambat, karena harus antri untuk take off. Begitu mengudara, saya coba untuk memejamkan mata. Tapi kantuk tak datang. Akhirnya saya memilih menonton saluran hiburan yang disediakan di setiap kursi pesawat. Tayangan Muslim Traveler yang saya pilih. Tayangan ini menceritakan kisah perjalanan si Traveler di Yugoslavia, tepatnya di Beograd. Di ibukota Yugoslavia itu, si traveler, bertemu dengan Agus Setyako, warga Indonesia yang punya istri orang sana.
Agus adalah WNI pemilik restoran Indonesia satu-satunya di Beograd. Istrinya orang sana. Bertemu saat bekerja di kapal pesiar. Agus jadi koki di kapal itu. Sering bertemu, keduanya jatuh cinta. Lalu, menikah di Jawa. Istrinya sekarang masuk Islam. Sementara mertua Agus, tetap memeluk agamanya sendiri. Tapi, kendati berbeda agama, Agus dan mertuanya hidup rukun. Bahkan, Agus jadi menantu kesayangan sang mertua. Sungguh mozaik kehidupan yang indah. Perbedaan jadi rahmat bagi Agus dan mertuanya.
Sedang asyik-asyiknya nonton, tiba-tiba Mbak Pramugari yang mendorong kereta makanan, menawarkan makan malam. Pilihannya, nasi plus daging sapi dan nasi seafood. Saya pilih nasi dengan daging sapi. Makanan pun langsung disodorkan. Saya taruh di meja portable di depan kursi. Setelah dibuka, menu terdiri nasi, beberapa potong rendang daging sapi, dan rebusan daun sawi. Karena lapar, makanan pun tandas dalam sekejap. Selanjutnya, saya meneruskan kegiatan menonton.
Sekitar pukul 21.00 lewat waktu Bali, pesawat yang saya tumpangi tiba di Bandara Ngurah Rai, Bali. Ada perbedaan waktu satu jam dengan Jakarta. Waktu Bali, lebih cepat satu jam daripada waktu di Ibukota. Keluar di bandara, sudah ada yang menjemput. Maklum yang datang adalah seorang menteri. Dengan di kawal mobil polisi, kami pun meluncur ke arah Nusa Dua Bali.
Tak terasa saya tertidur. Saya bangun, ketika mobil tiba-tiba masuk gang kecil. Saya tengok, di sebelah gang ada warung baso. Di plangnya tertulis Warung Baso Garasi Jalan Siligita. Mobil terus masuk dalam gang sempit. Ternyata kami masuk perkampungan, karena kanan kiri adalah rumah warga.
Baru, saat mobil berbelok masuk ke dalam sebuah komplek, saya baru ngeh. Mobil ternyata masuk ke dalam komplek villa. Di pintu masuk terbaca nama komplek villa tersebut. Majestic Point Villas, nama komplek tersebut.
Benar saja, saat mobil sudah masuk, terlihat bangunan-bangunan yang berbeda dengan rumah warga yang tadi di lewati. Bangunannya lebih mewah. Suasana dalam komplek villa, sangat sepi. Mobil pun berhenti disebuah bangunan. Sepertinya ini komplek cottage, pikir saya.
” Kita nginep di sini pak?” tanya saya pada Pak Acho yang satu mobil dengan saya.
” Ya Kang, nginep di sini,” jawab Pak Acho.
Karena penasaran saya kembali bertanya. ” Ini cottage ya pak?”
“Ya Kang,” jawab Pak Acho pendek.
Turun dari mobil, langsung bergegas menuju pintu cottage. Pintunya terbuat dari kayu. Begitu pintu terkuak, langsung terpampang suasana dalam cottage. Di tengah-tengah nampak kolam renang kecil berair jernih. Airnya nampak beriak-riak. Sayang sudah malam. Ingin rasanya langsung nyebur saja.
Kiri kanan kolam renang, dua bangunan kamar. Sebelah kanan satu ruang kamar. Sementara sebelah kirinya, bangunan terdiri dari dua ruang. Satu ruang kamar, satunya lagi ruang makan dan tempat bersantai. Semacam ruang tamu.
Di ruang tamu, ada meja makan makan, juga meja bar mini. Di depan meja makan, area menonton teve, dengan kursi sofa panjang dari kulit warna coklat. Lantai semua bangunan dari marmer putih.
Kamar tidurnya sungguh lapang. Lantainya marmer putih. Di tengah kamar, satu tempat tidur berseprai putih. Ukurannya jumbo. Tempat tidur menghadap langsung ke partisi yang terpasang televisi berlayar datar. Jadi, nonton teve, bisa sambil leyeh-leyeh. Kamar mandinya pun, cukup luas. Bersih. Berlantai marmer.
Puas melongok kamar, saya kembali keluar, bermaksud santai-santai sebentar. Di luar, terdapat kursi santai pinggir kolam renang. Dua kursi bundar, dengan batalan empuk warna hijau. Empat bantal menumpuk di setiap sisinya. Awalnya saya pikir kursi rotan, ternyata kursi dari plastik, hanya dianyam mirip kursi berbahan rotan. Di tengah, di antara dua kursi bundar, terdapat payung yang menaungi. Di belakang satu batang pohon rindang ikut memayungi.
Lantai sekeliling kolam renang, terbuat dari kayu. Terdiri dari bilah-bilah kayu warna coklat tua agak kehitam-hitaman. Sampai pukul 1.21 dini hari waktu Bali, atau waktu Indonesia bagian timur, saya tak juga bisa tidur. Sempat mandi sebentar, menikmati guyuran air hangat di kamar mandi yang resik.
Segar rasanya. Gerah, dan rasa lengket langsung hilang. Karena kantuk tak kunjung datang, saya keluar dari kamar. Nongkrong sendirian di bangku bundar nan empuk. Merebahkan diri, sembari melihat langit Bali yang lumayan sedang bertabur bintang.
Suasana, sangat sepi. Sesekali terdengar bunyi gongongan anjing. Dan, gemericik air. Di kolam renang. Suara kendaraan, terdengar samar-samar, seperti jauh sekali. Carlos, teman sekamar saya lebih beruntung, cepat dijemput kantuk., Pak Acho juga sepertinya sudah bermpi. Kamarnya tertutup rapat. Pun, kamar pak Menteri, tak ada aktivitas orang yang sedang begadang. Sepi. Sunyi.
Mungkin karena pengaruh segelas kopi, membuat kantuk susah mendekat. Tapi mau apalagi. Terpaksa nongkrong sendiri, menikmati sunyi senyapnya Majestic Point Villas.
Majesctic Point Villas sendiri memang enak bagi yang suka tempat sepi. Ini, tempat tetirah yang sempurna. Tempat istirahat dan menenangkan pikiran. Villa bagi yang suka suasana privat. Tak ada hiruk pikuk. Tak ada gaduh dan keramaian. Waktu terasa berjalan pelan.
Awalnya saya berpikir, tarif menginap di Majestic Point Villas, sangat mahal. Ternyata, tak terlalu mahal. Dari keterangan si pegawai villa, untuk dua malam menginap, tarifnya 5,2 juta. Wah, saya tadinya agak tak percaya.
Memang bila melihat total angkanya terasa mahal. Tapi, cottage yang tempati, terdiri dari tiga kamar, serta satu ruang bersantai atau ruang tamu. Jadi, kalau tarif menginapnya benar 5,2 juta untuk dua malam, terbilang murah. Meski begitu, masih mahal bagi turis backpacker.
Namun yang pasti, saya sungguh beruntung dapat menikmati ‘kesunyian’ Majestic Villas. Karena kalau pakai uang sendiri, mungkin saya akan berpikir seribu kali menginap di sana. Tarifnya, bukan kelas dompet saya.
Pukul setengah dua dini hari, saya beranjak ke kamar. Langsung merebahkan diri di kasur yang empuk nan lembut. Satu botol air mineral tandas. Tapi kantuk tak kunjung datang. Saya pikir, mungkin dengan baca buku kantuk bisa mendekat. Buku “Ciao Italia : Catatan Petualangan Empat Musim” yang ditulis Gama Harijono, saya keluarkan dari tas. Buku ini saya bawa dari rumah, sebagai teman perjalanan.
Buku Ciao Italianya Gama Harjono, adalah salah satu buku perjalanan yang saya suka. Buku ini menceritakan petualangan Gama Harjono saat belajar bahasa Itali di Perugia. Sambil belajar, berpetualang, begitulah isi buku Ciao Italia. Buku ini enak dibaca. Bahasanya renyah, gampang dikunyah. Membaca buku ini, kita seakan dibawa ke alam Italia.
Ternyata mujarab juga. Mata perlahan terasa berat digayuti kantuk. Buku pun saya taruh di meja pinggir tempat tidur. Dan, akhirnya saya bisa menyusul Carlos, menjemput mimpi. Berdoa sebentar. Memohon pada Tuhan, semoga istri dan dua anak saya terus dapat lindunganNya. Lalu setelah itu memejam mata. Kantuk terasa mendesak-desak, tak bisa ditahan.
Pukul 07.20 waktu Bali saya sudah beres mandi. Ganti pakaian. Seduh kopi. Lalu menikmati pagi di kursi empuk depan kolam renang. Menatap riak air di kolam renang, sembari menyeruput kopi hitam. Rasanya seperti orang kaya.
Dari pintu masuk villa, sinar matahari menelusup hangat. Dari kejauhan terdengar kokok ayam, berkali-kali. Carlos pun sudah bangun. Bahkan, ia terjaga lebih dulu. Saat saya menyibakan selimut, Carlos sudah selesai mandi. Sarapan pun datang. Sepiring nasi goreng, plus telor mata sapi dan potongan sosis. Minumnya jus jambu.
Saya sempat naik ke atap villa. Di atas ternyata ada tempat nyantai. Sebuah saung di bangun di atas atap. Lantai saung, beralaskan busa empuk. Terdapat bantal-bantal di setiap sisinya. Dari saung pula, kita bisa menikmati pemandangan. Bahkan, pojok lautan dikejauhan bisa terlihat jelas.
Majestic Point Villas
Alamat: Jl. Siligita Gang Jambu, Nusa Dua, Bali
Telepon: (0361) 3700304
Related Posts
Indahnya ‘Toleransi’ di Pulau Dewata
Pura di Bali. Masyarakat Bali, sangat menghargai toleransi beragama. Foto : Pixabay.com Senin, Selasa, Rabu, saya ada di Bali.
Read moreLiburan Murah ke Kuta ala Backpacker
Pantai Kuta, Bali. Foto: indonesiaituindah.net Berlibur ke Bali? Cukup menggoda memang bagi mereka yang sangat menikmati liburan di luar kota.
Read moreTour to Bali: Day 2
Ada sedikit perubahan jadwal, hari ini rencananya kita akan ke Kintamani, Ubud dan Sukawati. Namun karena mayoritas ingin ke Sukawati pada Minggu saja, jadinya hari ini kita menuju: Garuda Wisnu Kencana, Uluwatu, Dreamland, Kuta, jadi lebih banyak tema pantai-nya.
Read more