Musik, Puisi, Pencak Silat dan Penari Cantik
Saat saya tiba di pintu gerbang Taman Maya Datar, lalu melangkah ke dalam, sudah disambut lagu ‘Bongkar’ Iwan Fals. Saya awalnya betul-betul kaget, dengan suara penyanyi. Sangat mirip dengan penyanyi balada Indonesia tersebut.
Tapi, setelah tahu, ternyata bukan Iwan Fals yang sedang menyambut saya. Namun seorang penyanyi, berambut gondrong yang pakai ikat, ala orang Sunda. Dia asyik menyanyi sambil duduk memetik gitar.
Hari itu, Senin, 9 Mei 2016, saya datang ke Taman Maya Datar, untuk meliput acara Rembuk Nasional Asosiasi DPRD se-Indonesia atau Adeksi. Taman Maya Datar sendiri, adalah sebuah taman yang ada di depan kantor Bupati Purwakarta. Tamannya resik. Banyak pepohonan. Di tata sedemikian rupa.
Lagu ‘Bongkar’ pun usai dilantunkan. Kembali sekumpulan pemain musik beraksi. Kali ini, yang dimainkan adalah musik instrumentalia khas tanah Parahiyangan. Suara gendang begitu rancak, ditimpahi oleh syahdunya bunyi seruling. Ya, itu adalah musik ‘degung’, salah satu musik orang Sunda.
Acara pagi itu belum dimulai. Saya dan beberapa wartawan begitu menikmati penampilan band yang akan menghibur acara Rembuk Nasional. Sambil duduk menghadap ke panggung, tempat para pemain musik beraksi, kami pun dengan khidmat menikmati setiap lagu dan tabuhan yang dimainkan.
Angin sepoi-sepoi menambah sempurna suasana. Musik degung pun selesai diperdengarkan. Tanpa jeda, mereka kembali langsung memainkan musik instrumentalia berikutnya. Kali ini, Silk Road-nya Kitaro yang dimainkan. Saya benar-benar excited mendengarnya. Saya jarang sekali, mendengar ada band yang memainkan karya Kitaro, salah satu pemusik yang saya kagumi.
Tanpa sadar, tangan saya pun bergerak, mengikuti setiap alunan musik. Silk Road, adalah salah satu karya Kitaro, yang saya sukai. Setiap hentikannya membuat saya semangat. Pikiran langsung melambung dan melayang. Sungguh suguhan yang apik. Silk Road pun selesai. Kembali, mereka tanpa ada jeda sekali, berpindah pada aksi berikutnya. Musik pop Sunda kali ini yang mereka mainkan. Ah, benar-benar penampilan yang menghibur.
Usai memainkan musik pop Sunda, mereka berhenti. Karena penasaran, saya pun mendekat pada mereka. Pada salah satu pemain musik, saya bertanya. Menanyakan nama band tersebut.
” Ini Emka 9, mas, band pimpinan Pak Bupati,” jawab seorang pemain musik yang saya tanya.
Pak Bupati yang dimaksud adalah Dedi Mulyadi. Dia, Bupati Purwakarta. Pak Bupati sendiri, pagi itu sibuk mengatur anak buahnya menyiapkan acara. Ia pakai baju khas Sunda warna putih. Kepalanya diikat oleh ikat kepala khas orang Sunda. Pakai iket.
Kembali, band Emka 9 beraksi. Kali ini, dia memainkan instrumentalia musik modern, tapi dipadukan dengan rancak bunyi gendang, dan talu gamelan. Sungguh suguhan yang unik dan menghibur telinga. Benar-benar, telinga dimanjakan. Pun ketika acara dimulai. Usai pembacaan doa, band Emka 9 kembali beraksi. Musik langsung mengalun. Gesekan biola terasa menyayat. Ditimpahi denting piano. Lagu Iwan Fals, kembali dimainkan. Penyanyinya tak lain duplikat “Iwan Fals”. Yang hadir, banyak yang terkesima. Termasuk Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo. Lagu “Di Bawah Tiang Bendera’ yang dinyanyikan keroyokan oleh Iwan Fals, Franky Sahilatua dan Ian Antono.
Kita adalah saudara
Dari rahim ibu pertiwi
Ditempa oleh gelombang
Dibesarkan jaman
Di bawah tiang bendera
Dan yang menarik, lagu Iwan Fals, diselingi oleh pembacaan puisi. Sungguh sebuah kombinasi yang apik.
” Kita harus berhenti. Kita mesti keluar ke jalan raya. Keluar ke desa-desa, mencatat sendiri sejarah kita,” begitu salah satu penggal puisi yang dibacakan.
Pembacaan puisi selesai, lagu Iwan Fals kembali mengalun. Di interupsi kembali oleh bait puisi.
” Apalah artinya berdizikir bila terpisah dari persoalan kehidupan,” seru si pembaca puisi.
Sungguh sebuah suguhan yang syahdu dan menggetarkan. Apalagi pas tiba pada bagian reff lagu “Di Bawah Tiang Bendera.” Perasaan mengharu biru. Rasa dalam dada terasa diaduk-aduk.
Pada tanah yang sama
Kita berdiri
Pada air yang sama
Kita berjanji
Karena darah yang sama
Jangan bertengkar
Karena tulang yang sama
Usah berpencar
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Selesai penampilan lagu dan puisi, band Emka 9, kembali melanjutkan aksinya. Lagu Sunda bernuansa religi yang dimainkan. Seorang penyanyi perempuan, kali ini yang jadi vokalisnya. Syairnya terasa menggetarkan, bercerita tentang kepasrahan seorang hamba pada Tuhannya.
Musiknya pun menarik, menggabungkan unsur musik tradisional Sunda dengan musik modern, dan nuansa musik Timur Tengah. Bunyi syahdu suling, berpadu dengan rancaknya genda dan talu gamelan. Ditimpahi, petik gitar dan bas serta gesekan rebab. Sungguh perpaduan yang enak di dengar. Saya sampai tercenung menikmatinya.
Setelah itu, musik dengan irama khas Parahiyangan kembali dimainkan. Gesekan rebab kembali menyayat. Ditimpahi gendang dan ketukan gamelan. Begitu rampak. Tak lama, dari belakang panggung, dari arah kantor Bupati, rombongan para pemain pencak silat datang. Mereka langsung menuju ke atas panggung, yang menghadap ke deretan kursi tamu undangan.
Satu lelaki berpakaian hitam-hitam ala jawara naik ke panggung. Yang lainnnya menunggu. Sang jawara pun langsung beraksi memperagakan peragakan jurus-jurus pencak silat ala Tanah Sunda. Gerakannya trengginas dan hentakan kakinya, begitu bertenaga. Musik Sunda terus mengalun, mengiringi setiap gerakan si pesilat.
Setelah itu kembali naik tiga orang pesilat perempuan. Dengan rancak, mereka pun memperagakan jurus-jurus silatnya. Namun yang bikin saya suka, adalah ketika mereka memainkan jurus silat memakai kipas. Gerakan silat dengan kipas, sungguh artistik. Aksi pencak berlanjut. Kali ini tiga pesilat pria naik, memperagakan jurus memakai tongkat. Usai mereka beraksi, disambung lagi dengan aksi silat memakai pedang. Gerakannya sungguh trengginas. Kibasan pedang yang mengkilat, membuat aksi mereka begitu gagah. Saya sampai terperangah takjub melihatnya.
Musik terus mengalun, mengiringi mereka. Kali ini, bunyi terompet ikut masuk berpadu dengan gesekan rebab, talu gamelan, dan rampak kendang. Sungguh rancak terdengar di telinga. Peragaan pencak silat selesai. Tiba-tiba, seruling ditiup sahdu. Musik pun kembali dimainkan. Satu penari cantik, dengan kostum ala burung merak naik ke atas pangkung. Lalu menari. Liukan penari cantik, serta gerakan tangannya yang gemulainya menyihir yang hadir. Lenggoknya membuat saya ternganga. Baru kali ini, di acara pemerintahan ada suguhan yang begitu menggetarkan. Suguhan yang menghibur.
Usai acara, saya sempat mewawancarai Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi. Saya bertanya tentang band Emka 9 yang dipimpinnya. Pak Bupati pun kemudian bercerita. Band Emka 9 yang ia bentuk, karena ia suka musik. Suka berkesenian. Maka, ia pun kemudian mengumpulkan para pemusik, dan seniman yang dikenalnya. Ia ingin bentuk band yang bisa memainkan musik modern, sekaligus musik tradisional Sunda. Terbentuklah Emka 9, band yang menghibur saya hari itu.
” Mereka, para pemusik dan seniman, yang ikut saya bertahun-tahun. Ya, band ini sebuah wadah untuk menyalurkan ekspreasi bermusik, berkesenian,” kata Pak Bupati.
Ternyata, Pak Bupati juga pencipta lagu, dan peracik aransemen musik. Lagu, “Surga di Tanah Papua”, adalah salah satu ciptaannya. Ciptaan dia lainnya, musik religi Sunda yang tadi dimainkan band Emka 9. Lagu religi Sunda yang tadi dimainkan sungguh menarik, karena menggabungkan musik tradisional Sunda dengan musik modern, juga musik ala Padang Pasir.
” Saya sejak awal memimpin, ingin menjadikan budaya sebagai salah satu karakter Purwakarta,” kata Pak Bupati.
Related Posts
Gudeg Adem Ayem Solo, Lezat dan Menjadi Langganan Tetap Para Pejabat
Rumah Makan (RM) Adem Ayem Solo berhadapan langsung dengan rumah dinas walikota Surakarta atau Loji Gandrung. Tepatnya di Jl. Slamet Riyadi 342, Kelurahan Penumping, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta.
Read moreKendati Sudah Mereda, Tips Wisata Usai Pandemi Ini Tetap Perlu Kalian Terapkan
Meski sudah ada pelonggaran, ada beberapa tips wisata usai pandemi yang perlu menjadi perhatian. Kesehatan tetap merupakan urusan utama yang perlu mendapat kepedulian tinggi, termasuk faktor-faktor penting yang lain.
Read moreMuseum Sonobudoyo Yogyakarta, Asik Untuk Belajar Seni dan Budaya Nusantara
Di ujung selatan Jl. Malioboro, Yogyakarta terdapat titik nol kilometer kota tersebut. Di sini pula ada banyak sekali simbol-simbol budaya dengan cerita dan kisah sejarah yang teramat panjang.
Read more