Pagi Hari di Sebuah Taman Kecil
Minggu, 25 September 2016, kebetulan saya ada di Rumah mertua di bilangan Cipete Utara Jakarta Selatan. Hari Sabtunya saya bersama istri dan dua anak saya menghadiri undangan nikahan anak tetangga di komplek perumahan saya. Acara nikahan di sekitar pasar Minggu. Usai dari nikahan tadinya mau mampir sebentar ke rumah mertua atau rumah ibu istri saya. Setelah itu niatnya langsung kembali pulang ke Sawangan. Tapi ternyata rencana langsung pulang gagal. Hujan deras turun dari sore hingga malam hari. Hujan yang turun tak hanya deras tapi juga disertai angin kencang. Tak mau ambil resiko akhirnya saya dan istri memutuskan untuk menginap.
Malam hari di saat hujan masih deras derasnya disertai bunyi geledek, saya mendapat kabar terjadi musibah di daerah Pasar Minggu, sebuah Jembatan Penyebrangan Orang atau JPO ambruk. Dan ambruknya JPO menelan korban jiwa. Penasaran saya buka handphone. Benar saja di sebuah media online saya baca berita ambruknya JPO tersebut. Saat itu baru diberitakan korban meninggal dua orang. Sementara satu orang dilaporkan kritis.
Sampai pukul sembilan malam hujan masih berlangsung meski tak sederas saat sore. Saya sempat keluar rumah sekitar pukul 8 malam, karena anak merengek ingin minum susu. Kebetulan saya tak bawa persediaan susu, karena memang tak berniat untuk menginap. Hujan memang sangat deras. Karena saat saya mengendarai motor menuju mini market, jarak pandangan sangat terbatas. Terpaan lidah hujan juga begitu terasa ke wajah. Mata terasa perih. Belum lagi angin kencang dan bunyi geledak. Suasana hujan terasa mencekam.
Karena tak mungkin bisa pulang, akhirnya saya dan istri memutuskan menginap. Anak-anak anak keraannya hanya main games di handphone yang sudah dimatikan ke mode pesawat. Sampai kemudian karena kecapaian mereka langsung terlelap. Menjelang subuh saya terbangun. Saya tengok keluar lewat jendela ternyata hujan telah berhenti. Hanya hawa dingin menelesup lewat celah kaca nako jendela. Mertua mengajak solat subuh berjemaah. Usai Salat saya keluar rumah niatnya mengisi bensin di SPBU. Hawa dingin begitu terasa. Apalagi saya tak pakai jaket. Hawa sisa subuh menusuk dan menggigit tubuh.
Usai subuh banyak warga Cipete yang berolahraga. Ada yang lari kecil. Tapi ada juga yang pakai sepeda. Dari SPBU saya sempat melewati sebuah taman kecil di jalan Vila Sawo Cipete Utara. Namanya, Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Taman Sawo, begitu tulisan penunjuk tempat yang dipasang di depan taman.
Pagi selepas subuh, taman itu sudah tampak ramai dengan orang-orang yang berolahraga. Banyak juga yang sekalian mengajak anak-anaknya. Taman Kecil itu memang tempat yang nyaman untuk olahraga keluarga. Ada area bermain anak yang dibangun di tengah taman. Wah saya pikir enak juga kalau ajak istri dan anak berolahraga, menikmati pagi di taman kecil itu.
Sampai di rumah dua anak saya sudah terbangun. Saya pun segera mengajak istri pergi ke Taman Sawo. Istri saya antusias menyambutnya. Langsung ganti pakaian setelah itu pergi ke taman yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah mertua. Tak sampai lima menitan saya dan keluarga sudah sampai di taman. Setelah memarkir motor saya segera masuk taman. Kedua anak saya tampak riang. Mereka langsung berlari ke area bermain anak. Main ayun-ayunan dan perosotan. Saya sendiri memimilih berkeliling taman, sembari menghirup segarnya udara pagi. Sementara istri saya duduk memperhatian dua anak saya yang sedang bermain. Taman Kecil itu tampak rindang dinaungi pohon pohon-pohon besar.
Selain Area bermain anak di taman juga ada tempat main sepakbola. Disediakan gawang di dua ujung lapangan. Lapangan sepakbola mini juga bisa dialihfungsikan menjadi tempat main basket. Di belaka gawang dibangun tempat keranjang bola basket. Gawang bola sendiri bukan gawang permanen tapi gawang yang bisa dipindah-pindahkan.
Di taman Sawo, sebenarnya ada perpustakaan atau taman baca bagi anak. Sayang pagi itu taman bacaan belum buka. Menurut si petugas taman, perpustakaan biasanya buka pukul 10.00 pagi. Si petugas itu sendiri asyik membersihkan teras sebuah bangunan yang dibangun di di tengah taman. Di bangunan itu pula taman bacaan berada. Di tengah bangunan tampak teronggok seperangkat peralatan untuk main tenis meja. Meja tenis disenderkan ke dinding bangunan.
Pagi itu suasana lumayan ramai. Banyak yang datang membawa anak-anaknya. Kata si petugas, taman Sawo tiap harinya selalu ramai. Apalagi jika hari libur. Kata dia, pagi taman sudah ramai. Sore juga ramai pengunjung.
Taman Sawo bagi saya tak asing. Saya sering melewati taman itu, jika habis pulang kerja dan kebetulan ada keperluan ke rumah mertua. Saya teringat sebelum taman itu di tata. Dulu taman itu gelap karena tak ada penerangan. Kalau melewati taman lewat tengah malam, pemandangan pasangan muda mudi yang asyik mojok berpacaran sudah biasa. Di pojok- pojok taman, mereka duduk berduaan. Bahkan saya pernah melihat, dua muda-mudi asyik bercumbu, berciuman, tanpa hirau suasana di sekitarnya. Tapi kata si petugas setelah taman di tata dan dilengkapi penerangan tak ada lagi anak muda yang pacaran di taman. Apalagi sekarang taman dijaga.
Saya pikir, penataan yang tepat Jakarta memang sangat membutuhkan lebih banyak ruang hijau. Ruang publik yang ramah anak. Taman-taman kecil seperti di Cipete adalah contohnya. Sekarang taman tampak resik. Tak lagi serem. Tidak lagi jadi tempat mojok dan berbuat mesum. Setelah puas bermain-main di taman, pakai motor saya dan keluarga pergi ke Pasar Cipete dengan maksud mau beli kue buat sarapan. Pasar Cipete sendiri letaknya tak jauh dari taman. Setelah beli kue, saya sempat mampir di lapak penjual nasi uduk.
Di tempat penjual nasi uduk beberapa orang sedang asyik sarapan. Selain nasi uduk, si penjual juga menyediakan lontong sayur. Di meja juga disediakan gorengan tempe dan bakwan. Istri saya pesan satu porsi nasi uduk. Satu bungkus nasi uduk pun selesai diracik. Pakai bihun, orek tempe, sambel kacang kerupuk, telor dan sayur tahu. Selesai bayar saya dan keluarga langsung pulang ke rumah mertua. Di rumah, bungkus nasi uduk di buka. Nasi uduk benar-benar wangi. Rasa santan kelapanya begitu terasa. Tak hambar. Bahkan terasa wangi. Kata istri saya, nasi uduk yang benar adalah seperti ini. Ya, saya pun merasakan perbedaannya. Nasi uduk di sekitar komplek perumahan saya di Sawangan tak sewangi nasi uduk di Cipete. Rasanya hambar. Wangi santan tak begitu terasa.
” Ini baru nasi uduk Betawi bukan nasi uduk- udukan,” kata istri saya.
Related Posts
Kisah Anak Muda Merawat ‘Kue Warisan’
Anak muda penjual kue pancong, pelestari kue warisan Kue pancong, adalah kue khas orang Betawi. Tapi kini kian jarang yang jualan kue pancong.
Read moreTaman Cantik Di Pusat Kota Purwakarta
Jika Jakarta punya Taman Suropati, Purwakarta juga punya taman yang tak kalah cantik dan rindangnya. Namanya, Taman Maya Datar. Taman ini, terletak di pusat kota Purwakarta.
Read moreWarkop ‘Burjo’ Van Kuningan
Warung ‘burjo’ identik dengan orang Kuningan, karena pemiliknya banyak yang berasal kabupaten tersebut. Ngopi pagi hari, bagi saya adalah kegiatan kuliner yang wajib ditunaikan.
Read more