Tetirah di Eagle Hill Outbond Camp, Didekap Kabut, Ditemani Gerimis
Hari Jumat, 28 Oktober 2016, bertetapan dengan peringatan hari Sumpah Pemuda, saya ‘kabur‘ dari Jakarta. Saya kabur lengkap bersama anak dan istri. Dan yang kabur bersama saya cukup banyak. Mungkin ada sekitar 30-an orang.
Ya, hari itu, kami, para wartawan yang biasa meliput di Kementerian Dalam Negeri sedang punya hajatan. Hajatan kabur bareng dari hiruk pikuk ibukota. Tajuk acara kabur kami pun cukup gagah, ” Akhir Bulan Camping #LepasPenatSuka-suka.” Tagline yang keren kan?
So pasti keren, wong yang kabur para wartawan ha ha ha. Profesi yang katanya ditakuti menteri dan Presiden. Tapi takut sama redaktur di kantor he he he..
Kembali ke laptop, eh cerita. Jumat menjelang tengah malam, kami berangkat, pakai satu bus, dan dua 2 unit mobil pribadi. Suasana Jakarta malam itu, benar-benar bising dan gaduh. Di depan kantor Kementerian Dalam Negeri, di Jalan Merdeka Utara, sedang ada balapan liar.
Untungnya jalanan lancar. Pun di jalan tol menuju arah Puncak. Hanya sekitar satu jam lebih, kami sudah sampai di sebuah wisma yang kami rencanakan jadi tempat singgah sementara. Di wisma ini, kami akan nginap semalam. Baru pagi hari lanjut ke tempat acara utama.
Sabtu pagi, setelah sarapan, kami pun berangkat ke tujuan. Eagle Hill Outbond Camp yang ada di Mega Mendung yang jadi tujuan utama kami. Lalu lintas kendaraan di jalan tak begitu padat. Sepertinya orang-orang Jakarta belum naik ke Puncak. Perjalanan lancar, sampai kami berbelok ke jalanan yang tak begitu lebar.
Jalanan terus menanjak. Sesekali ada belokan. Sampai di depan gerbang Pusd Reskrim Mabes Polri, bus yang ditumpangi berhenti. Kami harus pindah mobil untuk naik ke atas,. Duh, hawa di tempat kami berhenti sudah begitu segarnya. Hawa segar yang tak akan pernah dinikmati di Jakarta. Hijau. Segar. Asri. Lengkap pokoknya. Saya sampai berkali-kali menarik nafas dalam-dalam menikmati hawa yang teramat mahal untuk dinikmati.
Pakai mobil-mobil minibus kecil, kami naik ke atas. Jalan kian menanjak, dan berkelok-kelok. Makin menanjak, rerimbun pohon makin rapat. Dari jendela mobil, semilir angin yang segar menelusup mengusap wajah. Hawa yang bikin adem. Bikin senyum mudah terkembang.
Akhirnya kami sampai di Eagle Hill. Tempat ini tepatnya ada Jalan Al Barokah Mega Mendung, Bogor. Letaknya ada di lereng bukit yang masih rimbun. Setelah menurunkan barang-barang, kami pun oleh pengelola Eagle Hill dipersilahkan naik ke atas. Eagle Hill sendiri adalah semacam tempat untuk tetirah, juga tempat outbond. Tempat peristirahatan, hanya saja yang membedakan, tempat istirahatnya bukan berbentuk Villa atau bungalow. Tapi berbentuk tenda-tenda. Tenda bro, benar-benar tenda yang biasa diipakai oleh orang yang suka naik gunung.
Saat kami naik, sudah terlihat jajaran tenda yang sudah disewa orang lain. Tapi tak di lokasi itu tenda untuk kami. Kami harus naik lagi ke atas. Sampai akhirnya kami tiba disebuah bangunan besar. Bangunan itu semacam aula. Cukup resik berlantai kayu.
Dan yang menakjubkan, dari teras bangunan tersebut, kami bisa menatap kota Bogor yang nampak dari kejauhan. Tak jauh dari lokasi kami, sebuah bukit menjulang dengan hutan yang masih rimbun. Dari kejauhan di antara hutan-hutan yang hijau, terselip bangunan-bangunan villa. Pasti itu vila orang-orang kaya di Jakarta. Adakah salah satunya itu vila Ayu Tingting yang katanya berharga 8 milyaran? Entahlah…
Setelah itu, kami dibagi ke tenda masing-masing. Wuihh tendanya menyenangkan. Menghadap langsung ke arah Kota Bogor. Dari tenda itu pula, saya bisa melihat sebuah gunung. Entah itu gunung Salak atau Pangrango. Tapi sepertinya Gunung Salak.
Dua anak saya langsung kegirangan, begitu di dalam tenda ada beberapa helai kasur tipis. Mereka langsung gulang guling di kasur. Sementara istri saya mengatur tas-tas bawaan. Setelah itu, seperti biasa minta foto-foto. Ya, tradisi selfie memang sulit ditinggalkan. Dimana pun, kapan pun, haram rasanya meninggalkan selfie. Apalagi ini pemandangannya begitu ciamik.
Selain kasur tipis, di dalam tenda juga disediakan sleeping bag. Wah, pasti dingin nanti saat malam, sampai disediakan pula sleeping bag. Hari sudah mendekati sore. Siang sebentar lagi berlalu.
Di langit, nampak awan mendung bergulung. Sepertinya akan turun hujan. Benar saja, rinai gerimis mulai turun menyambut datangnya sore. Gerimis makin rapat, meski tak juga menjadi deras. Awalnya saya takut, jika tenda tak tahan hujan. Tapi si pengelola ngasih jaminan, tenda aman dan anti hujan. Kecuali hujan badai dan es, katanya setengah berseloroh.
Benar saja, jaminan si pengelola tempat, tak seperti jaminan para politisi. Tenda memang aman. Tak ada bocor. Tak ada air masuk. Dua anak saya, malah langsung tertidur didekap hawa pegunungan yang menyegarkan. Istri saya juga akhirnya ikut leyeh-leyeh. Sementara saya, duduk termangu di mulut tenda yang dibiarkan terbuka setengahnya.
Kabut pun turun. Nampak jelas mulai menyelimuti hutan di bukit yang menjulang, tak jauh dari tenda-tenda yang kami tempati. Tenang, damai. Rasanya kepenatan yang dibawa dari Jakarta langsung meruap. Rasa sebal kepada aksi balapan liar, langsung hilang entah kemana.
Di sini tak ada lomba bunyi adu klakson. Tidak ada terdengar sumpah serapah. Tidak ada yang tawuran kata. Semua menikmati anugerah Tuhan yang maha indah dan damai. Mendekati senja, hujan tetap tak reda. Tapi tak menderas juga. Hanya hujan rintik. Hanya rinai gerimis.
Dan yang membikin ketenangan terasa sempurna, adalah minimnya sinyal handphone di tempat tersebut. Hampir semua operator sinyalnya kembang kembis. Jadi, tak ada yang bisa buka internet. Paling banter hanya kirim pesan pendek. Ya, mungkin itu isyarat alam, agar nikmati saja alam yang indah, tanpa diganggu oleh acara main gadget yang kerap membuat kita terasing satu sama lain. Terbukti, kita lebih banyak mengobrol. Bukan ngobrol via Whatsapp atau BBM. Tapi ngobrol langsung. Rasanya seperti kembali jadi manusia. Manusia yang bebas tak dijajah handphone.
Menjelang malam, kami bersiap menggelar acara bakar ikan, di dekat bangunan mirip aula. Acara bakar ikan pun cukup meriah. Tertawa bareng. Tergelak rama-ramai. Adu joke. Adu humor.
Acara bakar ikan makin menakjubkan karena kami disuguhi pemandangan yang maha Indah. Bukan pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang sombong dan angkuh. Tapi pemandangan tentang hutan yang menghijau. Langit yang bersih, meski digayuti mendung. Dan guguran kabut yang turun. Dan lembayung senjata yang bikin ternganga.
Ikan-ikan yang dibakar pun akhirnya matang. Acara makan bareng pun meriah. Sungguh nikmat ikan dipadu dengan sambal dabu-dabu. Malam pun tiba. Gerimis kembali turun. Dua anak dan istri kembali ke tenda usai makan. Mungkin karen hawa yang dingin dua anak saya cepat dijemput kantuk. Dibungkus sleeping bag, keduanya menjemput mimpi. Istri saya pun, mengikuti. Rebah, lalu terlelap.
Menjelang pukul 10 malam hujan berhenti. Saatnya yang tepat untuk menikmati api unggun. Dekat jejeran tenda, kami pun duduk mengeliling api unggun. Awalnya agak susah api menyala. Mungkin karena kayu yang basah. Tapi, setelah telaten disemprot minyak tanah, api unggun pun menyala.
Kami bernyanyi bareng. Bermain game lucu. Sampai memojokan seseorang agar mengungkapkan perasaannya. Senang rasanya, bergembira rame-rame. Tak terasa, tengah malam pun lewat. Api unggun juga sudah mulai habis. Hanya tinggal sisa bara. Hawa malam kembali menggigit tubuh. Satu persatu dari kami beranjak ke tenda. Malam kembali sunyi. Yang terdengar hanya bunyi jangkrik dan tongeret. Malam yang tenang. Kebersamaan yang menyenangkan. Acara kabur dari Jakarta yang mengesankan. Esok pagi kami harus kembali pulang. Kembali ke hiruk pikuk ibukota yang kerap menyebalkan.
Related Posts
Wisata Pantai Lombang di Ujung Kabupaten Sumenep, Madura
Wisata Pantai Lombang merupakan salah satu wisata pantai yang terletak di Kabupaten Sumenep, Madura. Pantai ini selalu ramai dikunjungi oleh para wisatawan baik wisatawan lokal maupun non-lokal terutama pada hari-hari libur dan hari-hari besar.
Read moreBoekit Tinggi Daramista : Wisata Alam Baru Di Pulau Madura
Boekit Tinggi Daramista adalah salah satu wisata alam yang terletak di kabupaten Sumenep, Madura. Wisata alam ini merupakan sebuah bukit yang telah di modifikasi agar telihat lebih indah dan menarik.
Read moreApi Tak Kunjung Padam: Api Keabadian di Bumi Pamekasan, Madura
Sesuai dengan namanya Api Tak Kunjung Padam, wisata yang satu ini sangat berbeda dengan wisata-wisata pada umumnya dimana api dapat muncul seketika dari tanah yang dicunkil.
Read more