Warkop ‘Burjo’ Van Kuningan
Ngopi pagi hari, bagi saya adalah kegiatan kuliner yang wajib ditunaikan. Ini ritus mengawal hari. Semacam ritual kuliner yang tak pernah absen dilakukan. Kecuali bulan puasa.
Maka, kalau tak sempat ngopi di rumah, di pinggir jalan, saat perjalanan untuk bekerja, ritual itu tak boleh dilewatkan. Berdosa rasanya jika sampai tak mengisi pagi dengan bau kafein. Rasanya ada yang kurang. Seperti sayur tanpa garam.
Pun ketiga bepergian ke luar kota. Maksud saya, keluar dari kota yang jadi tempat saya tinggal sekarang. Tempat ngopi adalah yang pertama saya tanyakan dan cari. Selesai merampungkan kerjaan, dipastikan saya akan langsung ngacir ke tempat ngopi. Bahkan, di sela-sela bekerja pun, saya selalu cari waktu menyereput segelas kopi. Kopi hitam favorit saya.
Nah, sekarang ini, saya punya tempat favorit untuk ngopi di saat pagi. Tempat ngopinya tak jauh, dari rumah saya. Keluar gerbang komplek, hanya sekitar 200 meteran, sudah nyampe di warung kopi. Nama warung kopinya, warung kopi berkah. Ini warung bubur kacang hijau. Biasa di sebut warung burjo. Tapi, selain burjo, warung kopi berkah juga menyediakan bubur ayam, roti bakar, pisang bakar dan pastinya menu wajib mie rebus dan mie goreng.
Yang punya orang Kuningan. Klop. Saya orang Kuningan, penunggu dan owner warkop juga orang Kuningan. Maka, setiap datang ke warkop berkah, bahasa percakapan pun berubah. Bahasa Sunda. Bahasa kampung saya. Bahasa kebangsaan orang Kuningan.
Ngopi di sana, saya seperti bertamu di tetangga kampung. Seperti ngobrol dengan kawan sekampung. Kawan dekat. Karib lama. Warung burjo sendiri memang identik dengan orang Kuningan. Karena memang, banyak warung burjo, terutama di wilayah jabodetabek, pemilik serta penunggunya adalah orang-orang yang berasal dari kabupaten paling timur di Provinsi Jawa Barat tersebut.
Warung burjo sendiri bisa dikatakan penggerak roda ekonomi orang-orang Kuningan. Banyak yang berhasil dengan usaha burjonya. Bahkan, ada yang punya hingga belasan warung burjo. Cabangnya ada di mana-mana, mengepung Jabodetabek.
Warung burjo sendiri jadi penyedian lahan pekerjaan. Karena biasanya warung burjo itu, minimal ditungguin oleh dua orang. Mereka bekerja dalam sistem shift. Satu orang shift siang. Satu orang laginya bekerja di shift malam. Pola tersebut diadopsi, karena rata-rata warung burjo buka 24 jam.
Selain itu, warung burjo, jadi semacam ‘kawah candradimuka’ bagi mereka yang mau jadi wirausahawan perburjoan. Karena kemudian banyak jebolan warung burjo yang buka warung burjo sendiri. Ya, ini semacam tempat untuk menempa diri, sebelum mandiri dengan usaha sendiri.
Dan jangan pernah remehkan para pengusaha burjo. Di kampungnya, bos burjo dihormati. Apalagi yang punya banyak cabang. Rumahnya mentereng, kendaraan yang dipunya pun tak kalah dengan kaum kelas menengah.
Warung burjo favorit saya adalah contohnya. Menurut salah satu pelayannya, cabang warung ada belasan buah. Tersebar di wilayah antara Jakarta – Bekasi. Warung burjo dekat rumah saya sendiri, tempatnya adalah sebuah ruko. Cukup besar. Pasti sewanya tak murah. Setidaknya ini menunjukan kekuatan modal si ownernya.
Kalau pagi selalu ramai. Malam juga tak kalah ramai. Bagi yang suka begadang, warung burjo bisa dikatakan rumah kedua. Di sana mereka bisa ngobrol ngalor ngidul. Apalagi bila ada pertandingan bola, pasti pengunjung ramai, nonton sambil ngopi.
Warkop burjo juga adalah dewa penolong bagi orang yang kelaparan saat tengah malam. Rata-rata warkop burjo buka 24 jam. Jadi, kalau lapar menyergap, tinggal cari warkop burjo. Pesan mie rebus atau bubur kacang ijo, perut lapar langsung terganjal. Tidak heran bila kemudian ada yang menyebut mie rebus dan bubur kacang ijo, adalah makanan kebangsaan tukang begadang.
Ngopi atau makan mie rebus juga enak. Pengunjung seperti tak ada sekat dengan si pelayan. Cara masak mie atau menyeduh kopi, bisa langsung disaksikan. Karena biasanya antara tempat ‘si koki’ meracik pesanan, menyatu dengan tempat makan dan minum. Jadi, sambil merebus mie, si pelayan bisa sambil ngobrol dengan pengunjung. Pelayannya rata-rata anak muda. Dan, memang dari warung burjo yang pernah saya singgahi, pelayannya selalu anak muda. Jarang yang sudah old age.
Ada yang mengatakan, makan mie rebus di warkop burjo, rasanya beda. Berbeda dengan masak sendiri di rumah. Padahal, menurut saya sugesti saja. Makan di warkop burjo beda, karena memang dilayani. Beda dengan masak di rumah, harus repot sendiri. Bahannya sama, hanya mie rebus, dilengkapi potongan sawi dan telor. Cara masaknya pun sama.
Tapi, ada juga warung burjo yang menyediakan menu mie rebus dengan toping yang lengkap. Di daerah Margonda, Depok, ada warkop burjo, menu mie rebusnya begitu variatif. Topingnya ada yang biasa dikenal, hanya dengan dilengkapi telor. Telornya ada yang ceplok rebus, tapi juga telor dadar. Tapi, ada juga toping kornet, baso, bahkan keju. Jadi kalau orang Tegal punya warteg (warung Tegal), maka orang Kuningan bangga dengan warung ‘burjonya’, warung bubur kacang ijo.
Related Posts
Apa sih yang Menarik di Ennichisai Blok-M?
Suasana Jepang di Ennichisai Blok M Keriaan setahun sekali ini akan menyulap area pertokoan Blok-M layaknya Tokyo, Jepang. Tenang, festival ini tidak eksklusif buat para pecinta pop-culture Jepang semacam anime, manga, game, idol, hen.
Read moreWarkop Aweng, Tempat Ngopinya Orang Palu
Setiap pergi ke luar kota, tempat yang selalu saya cari adalah tempat ngopi. Maklum saya penggemar berat kopi. Jadi, dimana pun saya singgah yang dicari adalah warung kopi. Seperti saat saya berkunjung ke Kota Palu untuk keperluan pekerjaan. Palu sendiri adalah ibukota Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Saya tiba di Palu, hari Sabtu. Sementara saya baru memulai pekerjaan di Kota Palu hari Minggunya. Jadi, malam minggu punya waktu lowong.
Tentu saya tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Apalagi jika bukan mencari tempat untuk ngopi. Di temani Pak Hamka, orang aseli Palu, saya pun putar-putar cari tempat ngopi. Karena masih buta situasi, saya minta Pak Hamka untuk mencari tempat ngopi yang paling terkenal di Palu. Kata Pak Hamka, ada tempat ngopi yang tenar di Palu. Namanya Warkop (warung kopi-red) Aweng. Maka meluncurlah saya dengan Pak Hamka ke Warkop Aweng yang ternyata letaknya tak begitu jauh dari hotel tempat saya menginap. Saya menginap di Hotel Grand Duta, otel yang berhadapan langsung dengan pantai. Hanya terpisah oleh ruas jalan. Warkop Aweng sendiri ada di Jalan Komodo, Kota Palu.
Ikut bersama saya, dua rekan saya, Tika dan Dino yang sama-sama terbang dari Jakarta. Pakai mobil Pak Hamka, kami meluncur ke Warkop Aweng. Saat tiba di sana, suasana sekitar Warkop sudah ramai. Parkiran penuh dengan motor dan mobil. Untungnya masih dapat tempat untuk memarkir mobil.
Terdengar bunyi live music. Warkop Aweng sendiri gampang dikenali. Bangunannya didominasi cat merah. Hampir semuanya bercat merah. Kami pun segera masuk, dan memilih tempat duduk yang ada di ruang terbuka.
Pengunjung warkop malam itu tampak ramai. Mungkin karena ada pertunjukan musik, jadi pengunjung banyak datang. Rata-rata yang datang anak-anak muda. Ada yang berpasangan. Tapi banyak pula yang berkelompok.
Di pinggir bangunan utama warkop, sebuah panggung kecil di bangun. Di panggung kecil itulah, para pemain band yang terdiri dari empat orang pemusik menghibur pengunjung warkop. Vokalisnya gadis muda bertubuh mungil. Suaranya enak didengar. Gayanya pun atraktif.
Setelah duduk, tak lama pelayan datang. Saya langsung memesan kopi hitam favorit saya. Plus saya juga memesan goreng pisang dengan toping keju dan coklat. Seperti biasa ini padanan sempurna bagi kopi hitam. Sementara dua rekan saya lebih memilih jus. Tidak apalah, soal selera masing-masing kerap berbeda.
Tidak lama pesanan pun datang. Dengan perlahan, kopi pun saya reguk. Rasanya nikmat. Kopinya pun wangi. Makin sempurna karena dihibur penyanyi cantik bersuara merdu.
Menurut Pak Hamka, Aweng sendiri diambil dari nama ayah pemilik warkop. Ya, Pak Aweng adalah perintis pertama Warkop Aweng. Kini, Warkop Aweng sudah dikelola oleh anak-anaknya.
” Aweng itu nama bapaknya yang kelola warkop ini,” kata Pak Hamka.
Masih menurut Pak Hamka, dulu Pak Aweng dikenal sebagai penjual kopi yang diracik sendiri. Awalnya hanya warung biasa, tapi kini sudah berkembang. Bahkan sudah ada beberapa cabang Warkop Aweng di Kota Palu.
“Pak Aweng jualan kopi sejak tahun 1953, jadi sudah cukup lama. Pak Aweng sendiri yang ngeracik kopinya,” kata Pak Hamka.
Pak Hamka menambahkan, Warkop Aweng sudah jadi tempat ngumpulnya komunitas-komunitas anak muda di Palu. Grup-grup motor dan mobil, banyak yang sering nongkrong di Warkop Aweng. ” Para fotografer ngumpulnya ya di sini juga,” kata Pak Hamka.
Minggu malam Senin, usai menyelesaikan pekerjaan menulis berita, saya kembali ngopi di Warkop Aweng. Kali ini, bukan Warkop Aweng di Jalan Komodo yang dituju. Tapi Warkop Aweng yang ada di Jalan Sam Ratulangi, Palu. Pak Muchlis yang temani saya ngopi, bukan lagi Pak Hamka. Pak Muchlis sendiri aseli warga Palu. Dia Kepala Satpol PP Provinsi Sulawesi Tengah.
Warkop Aweng di Jalan Sam Ratulangi, bentuk serta corak bangunannya tak jauh beda dengan warkop di Jalan Komodo. Warna merah mendominasi bangunan utama warkop. Di belakang warkop, terdapat ruang terbuka. Kursi meja di tata sedemikian rupa.
Saat saya lagi menunggu pesanan kopi, terlihat rombongan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo datang. Orang nomor satu di Sulawesi Selatan itu lebih memilih duduk di dalam bangunan utama warkop. Sementara saya dengan Pak Muchlis, duduk di area terbuka. Sayang tak ada pertunjukan live music di warkop Aweng Jalan Sam Ratulangi. Namun meski begitu, pengunjung tampak ramai.
Sambil menunggu pesanan datang, Pak Muchlis bercerita tentang Warkop Aweng. Kata dia, Warkop Aweng sudah buka cabang di Singapura. Wah, hebat, pikir saya dalam hati.
Di Kota Palu sendiri ada tujuh cabang Warkop Aweng. Di antaranya ada di Jalan Juanda, Jalan S Parman, Jalan Cik Ditiro. Dan di jalan Tanjung. Semuanya dikelola anak-anak Pak Aweng. Tak berapa lama, kopi yang kami pesan datang. Sambil mengopi kami pun melanjutkan obrolan.
” Dari tahun 1953 Pak Aweng jualan kopi. Racikannya khas. Racikannya sendiri. Pak Aweng yang buat racikan beda dengan yang lain,” kata Pak Muchlis.
Saya pun bertanya pada Pak Muchlis, selain di Palu dan Singapura, apakah Warkop Aweng juga melebarkan sayapnya membuka cabang di kota kabupaten yang ada di Sultang. Menurut Pak Muchlis, sepertinya Warkop Aweng hanya ada di Palu. Tak ada di kota lain.
” Pak Gub (Gubernur Sulteng, Longki Djanggola-red), setiap minggu pagi suka muter-muter, ya ngopinya di Aweng,” katanya.
Warkop Aweng sendiri kata Pak Muchlis memang ada yang buka pagi hari. Kalau hari Minggu ramai. Terutama anak muda. Bisa dikatakan, Aweng adalah warkopnya orang Palu. Anak-anak muda Palu, kalau ngopi atau nongkrong selalu di Warkop Aweng. ” Ini tempat ngumpulnya anak muda Palu,” katanya.
Di Palu sendiri sebenarnya ada warkop lain. Namun memang yang paling tenar dan selalu ramai adalah Warkop Aweng. Di Warkop Aweng, selain ngopi, pengunjung juga bisa menikmati layanan wifi gratis. Sayang saat saya berkunjung ke sana, layanan wifinya lelet. Mungkin karena banyaknya pengunjung. Jadi kalau kebetulan berkunjung ke Palu, dan mau cari tempat nongkrong yang enak, Warkop Aweng rekomended untuk disinggahi. Tanya saja pada orang Palu, pasti tahu dimana Warkop Aweng.
Read more